Nasional

Taujihat Lengkap Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar di Konferwil XVIII NU Jawa Timur

Kamis, 8 Agustus 2024 | 06:00 WIB

Taujihat Lengkap Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar di Konferwil XVIII NU Jawa Timur

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat menyampaikan taujihat atau arahan pada Pembukaan Konferwil XVIII NU Jawa Timur di Pesantren Tebuireng, pada 2 Agustus 2024. (Foto: dok. PBNU)

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menyampaikan taujihat atau arahan dalam Pembukaan Konferensi Wilayah (Konferwil) XVIII Nahdlatul Ulawa (NU) Jawa Timur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada 2 Agustus 2024.


Dalam kesempatan ini, Kiai Miftach menyampaikan kisah pemuda Ashābul Kahfi di dalam Al-Qur’an yang penting untuk dikontekstualisasikan di dalam organisasi. Selain itu, ia mengungkap metode hijrah Rasulullah Muhammad yang dilakukan dengan penuh perencanaan, pengorganisasian yang sistematis, taktik dan strategi yang jitu, serta ketakwaan bahwa Allah membersamai hamba-Nya yang berjuang, sehingga membuahkan hasil. Kiai Miftach ingin spirit hijrah Nabi Muhammad itu diterapkan di dalam organisasi Nahdlatul Ulama.


Berikut transkrip lengkap taujihat atau arahan Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar:


***


Assalāmu'alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh.

Bismillāhirrahmānirrahīm. Alhamdulillāhilladzi ja’alana min khaira ummatin ukhrijat linnās, alladzīna ya’murūna bil ma’rūfi wa yanhaunaanil munkar, wala yardlauna bi dienil misās. Allahumma shalli wa sallim wa tafadldlal wa takarramalā Sayyidina Muhammad, waalā ālihi wa ashhābihi al-akramīn. Amma ba’d.


Hadarātil kuramāal a’izzāwalulamāwal masyāyikh, habaib, mustasyarīn, dalam hal ini al-mukarram KH Anwar Manshur sebagai Mustasyar PBNU sekaligus Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur dan para Syuriyah PB, PW, PC, yang hadir di acara Pembukaan Konferwil XVIII PWNU Jawa Timur. Juga jajaran pengurus tanfidziyah PBNU yang hadir. Saya tidak bisa menyebutkan, idem saja pada ketua umum kita, karena semua ini kiai.


Saya tetap seperti sebelumnya, Miftachul Akhyar, (dari) Kedung Tarukan 100, yang dulu juga pernah di PCNU Surabaya, lalu di PWNU, dan sekarang sedang (jadi Rais ‘Aam PBNU) – sementara, – nanti kembali ke Kedung Tarukan. Tidak ada hal-hal yang lain, tidak ada perubahan. Saat ini saya masih ingat, siapa orang-orang yang layak saya muliakan, siapa sahabat, dan siapa teman.


Kami hadir di Tebuireng ini terlambat, karena ada sesuatu. Tapi bisa disebut pas juga kedatangan saya ini, pas terlambat. Hanya, dalam pikiran saya, mudah-mudahan saya masuk Tebuireng ini, ada sebutir debu yang beterbangan atau yang mungkin menempel di sarung saya, di anggota badan saya, yang dulu debu-debu ini pernah injak, diduduki, atau terkena bagian-bagian jasad Allahyarham as-Syaikhul Akbar muassis hadzihil jam'iyah al-mardiyah KH Muhammad Hasyim Asy'ari, sehingga satu butir debu ini, saya meyakini akan membawa keberkahan dalam kehidupan kita, dan itu bukan hanya saya, panjenengan semuanya, peserta Konferwil mungkin akan lebih punya kesempatan untuk ketemu, ketempelan daripada debu-debu yang pernah bersentuhan dengan muassis Allahyarham KH Muhammad Hasyim Asy'ari.


Oleh karena itu, sebuah kebahagiaan saya dan panjenengan semuanya malam ini bisa ikut hadir dengan membawa ribāthul qalbi (ikatan hati) dan tsabātul qalbi (ketetapan hati), sebagaimana tadi yang telah disampaikan oleh ketua umum kita: Kiai Yahya Cholil Staquf.


Tidak banyak yang akan saya sampaikan, karena tadi sudah sangat lengkap. Kita punya ketua umum PBNU yang sudah mantap dengan segala keputusan-keputusannya, dan saya kira, saat inilah PBNU dalam sebuah organisasi yang utuh, organisasi yang betul-betul ada ribāthul qalbi, organisasi yang terus menjaga wibawa, dan semua keputusan-keputusan melalui musyawarah, melalui mohon petunjuk siapa pun yang kiranya memiliki petunjuk-petunjuk yang baik itu.


Ribāthul qalbi ini yang kita butuhkan saat ini, di saat Nahdlatul Ulama dengan semboyan Merawat Jagat Membangun Peradaban. Lalu di dalam Konferwil yang ke-18 ini, dengan tema juga Merajut Ukhuwah dan Mengokohkan Jam’iyah dalam Pendampingan Umat.


Apalagi saat ini kita masih di bulan Muharram yang dikenal dengan peristiwa Hijratur Rasul, sebuah kesempatan yang baik, bagaimana kita lebih mengokohkan lagi ribāthul qalbi, tsabātuhu, di bulan-bulan yang sangat besar ini, bulan-bulan yang didengung-dengungkan sebagai tahun baru Islam yang akan meraih kemajuan, tahun kebangkitan Islam, di bulan Muharram ini.


Saudaraku, para pengurus, para pemimpin, khususnya se-Jawa Timur, rahimakumullāh jamī’an.


Di dalam tsabātul qalbi, ribāthul qalbi, Al-Qur’an sendiri telah menyatakan: “Wa rabathnâ ‘alâ qulûbihim idz qâmû fa qâlû rabbunâ rabbus-samâwâti wal-ardli lan nad‘uwa min dûnihî ilâhal laqad qulnâ idzan syathathâ” (QS. Al-Kahfi: 14).


“Aku ikat hati-hati mereka para fityatun, para pemuda-pemuda yang hijrah untuk mempertahankan aqidah dan keyakinannya.”


Tidak kurang dari tujuh pemuda yang kita kenal dengan Ashābul Kahfi, yang kadang-kadang Ashābul Kahfi ini dibuat guyonan: orang yang sedang tiarap, yang tidak berani mengangkat kepalanya, mungkin agar dia aman. Padahal Ashābul Kahfi ini adalah pemuda-pemuda yang punya nilai semangat tinggi untuk mempertahankan keimanan dan keyakinannya, dan yakin Allah akan memberikan jalan keluar. Kenapa? karena mereka sudah diikat oleh Allah dengan ribathul qalbi tadi, sehingga mantap. Berhadapan dengan siapa pun mantap, sudah yakin kalau akan mendapat pertolongan Allah.


Sama, pada periode ini PBNU penuh dengan kemantapan. “… idz qâmû fa qâlû rabbunâ rabbus-samâwâti wal-ardli lan nad‘uwa min dûnihî ilâhal laqad qulnâ idzan syathathâ” (QS. Al-Kahfi: 14). Di hadapan siapa pun, …rabbunâ rabbus-samâwâti wal-ardl… (QS. Al-Kahfi: 14). Ini sebuah kemantapan, dan ini adalah nilai hijrah, hijrah dari sesuatu yang negatif kepada yang positif, dan itu sudah ditunjukkan oleh Ashābul Kahfi.


Sampai-sampai, ayat selanjutnya menyatakan: wa taḫsabuhum aiqâdhaw wa hum ruqûduw… (QS. Al-Kahfi: 14). “Engkau akan mengira dia orang yang sedang terbangun, sedang siaga, sedang siap, wa hum ruqûduw, padahal mereka itu sedang tidur.”


Artinya apa? Para musuh-musuh, lawan-lawan Ashābul Kahfi ini, mereka mengira bahwa Ashābul Kahfi ini sedang terbangun, setiap siaga, padahal mereka itu tidur. Artinya apa? Tidurnya saja ditakuti. Tidurnya saja melahirkan sebuah wibawa dan keseganan. Nah, kalau terbangun bagaimana? Tidurnya saja sudah membawa (wibawa dan keseganan).


Inilah yang kita harapkan (dari) Nahdlatul Ulama. Kalau sampai sekarang dianggap masih tidur. Apa masih tidur, kira-kira?

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat menyampaikan taujihat atau arahan pada Pembukaan Konferwil XVIII NU Jawa Timur di Pesantren Tebuireng, pada 2 Agustus 2024. (Foto: dok. PBNU)

Organisasi yang besar kalau tidak di-manage dengan baik, maka kita akan masuk pada kelompok silent majority, mayoritas yang sedang tidur.


Tanda-tanda itu kemarin tampak. Mestinya, sebuah mayoritas, kebesaran sebuah organisasi, sebuah bangsa, tentu juga akan melahirkan natijah-natijah yang besar juga. Itu logic sekali. Sesuatu yang besar melahirkan yang besar, itu sangat logic. Kalau sesuatu yang besar kok melahirkan suatu yang ecek-ecek, kethengan? Ini yang perlu ada pertanyaan-pertanyaan.
 

Jadi, Ashābul Kahfi ini tidurnya saja menakutkan, apalagi bangunnya, dan itu ada pada Nahdlatul Ulama selama ini: mayoritas (yang diam), silent majority, orang masih tetap segan. Tapi kalau betul-betul mulai saat sekarang ini kita bangun Nahdlatul Ulama, kita manage dan lain sebagainya, sehingga tegak lurus mulai dari Ranting, MWC, PC, PW, ke keputusan-keputusan PBNU, – selama itu hasil keputusan musyawarah PBNU – saya yakin justru akan luar biasa yang akan kita dapatkan. Ini penting, tegak lurus penting. Karena Nahdlatul Ulama dalam organisasi keislaman, keagamaan, ini merupakan pokoknya, yang lain itu hanya ranting, paling besar hanya cabang. Artinya PB sampai ke ranting ini pokok.


Jadi, di sini, kapan kita bisa menjadi tertib, kapan kita bisa menjadi organisasi yang berwibawa? 


Sahabat Umar meriwayatkan sebuah Hadits: … islāma illa bi jamā’atin, walā jama’ata illa bi imāratin, wala imārata illa bi thā’atin, faman sawwadahu qaumuhualal fiqhi, kāna hayatan lahu wa lahum, wa man shawwadahu qaumuhuala ghairi fiqhin, kāna halakan lahu wa lahum (HR. Al-Darimi: 253), aw kamā qāla.


Jadi, Islam itu pun sebetulnya adalah jam'iyah, organisasi, kumpulan masyarakat yang di situ ada aturan-aturan, tata tertib, islāma illa bi jamā’atin. Lalu jamaah, kumpulan ini, tidak akan bisa berdiri tegak, kalau tidak ada pimpinannya, yang memimpin, yang me-manage, yang beliau ini punya al-‘ākifala dieniwalārif bi hāli qaumih, pemimpin yang selalu berkutat dalam semua urusannya ‘ala dieni, semua ukurannya agama – karena agama ini sudah begitu sempurna. Kita saja yang masih, mungkin, ambil itu entah 5 persen, 10 persen, ini sudah luar biasa – wal  ‘ārif bi hāli qaumih (dan mengerti keadaan rakyatnya). Ini pemimpin.


Oleh karena itu, pada zaman Nabiyullah Musa ‘alaihis salam sedang dikejar-kejar oleh Firaun: di hadapannya adalah Laut Merah, di belakang ada Firaun dan kaumnya, maka umatnya menyatakan: “Kita ini akan binasa, kita sudah hampir terkejar.” Nabiyullāh Musa menyatakan: … inna ma‘iya rabbî sayahdîn (QS. Asy-Syu’ara: 62),… sesungguhnya Tuhanku bersamaku, dan Tuhanku, Allah, akan memberikan petunjuk-petunjuk menyelamatkan. Dan akhirnya nyata. Tapi mukjizat, kekuatan yang dimiliki Nabi Musa, ya hanya saat itu, saat beliau masih hidup. Makanya tarkib-nya inna ma‘iya rabbi.


Tapi di dalam peristiwa Hijratur Rasul sallallahualaihi wa sallama yang penuh dengan strategi, yang butuh waktu bertahun-tahun mempersiapkan, bahkan sejak beliau dilantik menjadi Nabi dan Rasul dengan turunnya Surat Al-‘Alaq, beliau dibawa oleh Sayyidatina Khadijah ke – ada yang mengatakan ini pamannya, ada yang mengatakan ini misanan – Waraqah  bin Naufal. Lalu ceritakan semuanya, karena beliau ini orang yang paham tentang Kitab Taurat, Kitab Injil, memahami, maka beliau mengatakan: “Yang datang kepadamu adalah Jibril, yang juga pernah datang kepada Nabiyullah Musa ‘alaihis salam. Andaikan aku masih diberikan kesempatan hidup di saat engkau dikeluarkan, diusir oleh umatmu, maka aku sebagai pembela garda terdepan.”


Jadi, saat beliau awal itu, kata-kata diusir dari negaranya, kata-kata hijrah itu sudah terbentuk. Maka hijrahnya Rasulillāh sallallāhualaihi wasallam bukan mendadak, atau mencari keamanan, atau mencari sesuatu nilai atau status sosial yang lebih tinggi, atau bagaimana, tapi ini memang sebuah dakwah dan perjuangan.


Kalau Rasulullah naik ke langit dengan peristiwa Isra Mi'raj-nya yang sampai sekarang belum pernah tertandingi oleh ilmu teknologi kapan pun, tapi urusan hijrah Allah memerintahkan semua harus ada perencanaan yang baik. Mulai perencanaan bagaimana menata muhajirin-muhajirin (orang-orang yang hijrah), sampai dia tuntas. Lalu siapa yang nantinya mempersiapkan kedatangan beliau di Madinah. Sahabat Mush’ab bin Umair menjadi delegasi. Lalu siapa nanti yang mendampinginya? Lalu bagaimana siasat agar orang-orang musyrik yang sudah begitu merencanakan matang, tapi bisa terkelabui? Sahabat Ali diminta tidur di tempat pembaringan Rasulullah dengan memakai kemul (selimut), sehingga terkecohlah (orang-orang musyrik Makkah). Beliau keluar dari rumah tidak langsung menuju jalan ke Madinah, tapi ke sebelah utara Kota Mekkah, dan itu pun mampir di Goa Tsur, tidak sehari-dua hari, beberapa hari, dan memasang mata-mata. Putra sahabat Abu Bakar pun tiap malam datang menyampaikan berita keadaan di Kota Makkah. Pelayan daripada sahabat Abu Bakar, ini bagian menghapus bekas-bekas tapak (kaki), atau bekas-bekas di mana perjalanan yang dilalui Rasulullah, agar lawan, musuh tidak mengetahui, dan menyewa seorang kusir, walaupun kafir, Abdullah bin Uraiqit, tapi yang tahu “jalan-jalan tikus”. Ini adalah strategi-strategi dakwah, dan itu tidak dijamin oleh Allah, harus dilakukan.

Pembukaan Konferwil XVIII NU Jawa Timur di Pesantren Tebuireng, pada 2 Agustus 2024. (Foto: dok. PBNU)

Nahdlatul Ulama adalah miniatur Islam, di dalam menata organisasi harus ada manajemen. Bagaimana nantinya Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang sistemik, sistematis, maka kami harapkan Jawa Timur yang disebut sebagai basis, Makkah-nya Nahdlatul Ulama, ini bisa memulai dan mengawalinya. Tartib tandzim (tertib aturan) itulah rahasia kesuksesan kita semuanya.


Hijrah, melalui sebuah siasat bernilai tinggi yang dilaksanakan oleh Rasulullah dalam ancaman, meninggalkan negara, meninggalkan semua apa yang disayangi, ini juga bagian-bagian daripada tandzim organisasi.


Malam ini kesempatan kita, dan Rasulullah pun ditolong oleh Allah karena memang melakukan ikhtiar dengan baik: illâ tanshurûhu fa qad nasharahullâhu idz akhrajahulladzîna kafarû tsâniyatsnaini idz humâ fil-ghâri idz yaqûlu lishâḫibihî taḫzan innallâha ma‘anâ,… (QS. At-Taubah: 40). Yang kami ambil innallâha ma‘anâ. Kalau Nabi Musa: inna ma‘iya rabbi. Begitu Nabi Musa wafat, selesai. Karena inna ma‘iya, untuk pribadi atau sosok Nabi Musa. Tapi yang disampaikan Rasulullah: innallâha ma‘anâ, bersama kami, kami bukan pribadi Rasulullah, tapi kami dengan umat, kami dengan Nahdlatul Ulama, kami dengan antum-antum yang malam ini siap untuk memilih pemimpin kalian lima tahun ke depan. Innallâha ma‘anâ. Jangan khawatir, pasti akan datang pertolongan, karena innallâha ma‘anâ akan terus berlangsung ila yaumil qiyamah (sampai hari kiamat). Itu ada pada panjenengan semua.


Selamat berkonferensi. Selamat untuk memilih pemimpin. Pemimpin yang punya kemampuan manajerial, kemampuan kearifan, dan penuh dengan keberkahan.


Semoga Allah memberikan pertolongan kepada para peserta muktamirin Konferwil Ke-18 ini, dan diberikan kemudahan, dan tetap bertahan tsabat, tsubut, sampai selesai muktamar ini menghasilkan semua program-programnya.


Itulah yang bisa kami sampaikan. Kurang lebihnya mohon maaf.


Ihdinash-shirāthal-mustaqīm.

Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.

Wassalāmu'alaikum wa rahmatullāh wa barakātuh.