Opini

Bagaimana Ulama Bermazhab Diabaikan Sarekat Islam dan Akhirnya Berangkat Sendiri ke Hijaz?

Rabu, 8 Maret 2023 | 19:30 WIB

Bagaimana Ulama Bermazhab Diabaikan Sarekat Islam dan Akhirnya Berangkat Sendiri ke Hijaz?

Foto KH Muhammad Hasyim Asy’ari (tengah) bersama KH Jazuli Usman (kiri) dan KH Dawam (kanan) di Mihrab Masjid Tebuireng sekitar tahun 1923. Setelah menerima laporan tidak digubrisnya kepentingan kelompok bermazhab oleh kelompok Kongres Khilafah yang dimotori SI, KH Hasyim Asy'ari sampai pada keputusan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). (Foto: Dok. Pesantren Lirboyo)

Penemuan naskah Kafful ‘Awam ‘anil Khaudhi fi Syirkatil Islam karya KH Hasyim Asy’ari mengubah pandangan para peneliti atas hubungan ulama-ulama pesantren dengan Sarekat Islam (SI). Risalah tersebut ditulis oleh Kiai Hasyim sebagai kritik tajam atas keberadaan SI. Pada 2015, naskah ini diterima oleh Zacky Khairul Umam, peneliti yang saat itu sedang menempuh program doktoral di Freie Universität, dari Yahya al-Junaid, ilmuwan di King Faisal Center for Research and Islamic Studies.


Risalah ini kemudian dijadikan tesis oleh Ashari di Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta dan terbit sebagai buku pada 2020 dengan editor Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Fatchurrohman Karyadi (Atunk). Atunk dikenal sebagai peneliti yang mengkhususkan perhatian kepada naskah-naskah karya Kiai Hasyim. Bertolak dari kajian tersebut, Ayung Notonegoro kemudian menulis artikel pendek Benarkah Kiai Wahab Mendirikan SI Cabang Mekah? Ia berasumsi bahwa Kiai Wahab Chasbullah tahu atau membaca risalah gurunya itu.


Kafful ‘Awam tidak diedarkan atau diterbitkan. Kiai Hasyim menulis kegelisahannya lalu meminta pendapat kepada gurunya di Makkah, yaitu Syekh Khatib Al-Minangkabawi. Pada 1914, sang guru menjawabnya secara panjang lebar, dengan bersumber dari sebuah kitab, dan membantah semua argumen dalam Kafful ‘Awam. Jawaban ini kemudian diterbitkan dengan judul Tanbihul Anam. Di bagian akhir Tanbihul Anam, tertulis pernyataan singkat bahwa Kiai Hasyim menerima keterangan Syekh Khatib.


Kemudian muncul pertanyaan: jika Kiai Hasyim menulis Kafful ‘Awam berdasarkan pandangannya secara langsung atas perkembangan SI di Jawa Timur, siapakah sumber informasi Syekh Khatib dalam menulis Tanbihul Anam?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, memang memerlukan kajian sejarah yang mendalam dan cermat. Dua catatan itu ditulis pada kurun 1912-1914, di periode awal pendirian SI. Karena itu, kritik Kiai Hasyim harus dilihat dalam konteks waktu: ia tidak mengkritik secara keseluruhan perjalanan organisasi SI, melainkan hanya pada awal pendiriannya.


Akibat Diabaikan SI

Berpegang pada jawaban gurunya, Kiai Hasyim “menahan diri” selama 13 tahun untuk tidak bergabung dengan SI atau mendirikan organisasi lain. Namun, setelah menerima laporan tidak digubrisnya kepentingan kelompok bermazhab oleh kelompok Kongres Khilafah yang dimotori SI, ia sampai pada keputusan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi ia memperoleh dukungan spiritual dari gurunya yang lain, Syaikhona Kholil Bangkalan.


Pada 1925, kelompok-kelompok Islam di Hindia Belanda mulanya bersiap memenuhi undangan Raja Mesir yang akan mengadakan Kongres Khilafah sebagai respons atas jatuhnya Turki Usmani. Dalam Kongres Al-Islam yang berbarengan dengan Kongres Central Sarekat Islam (CSI) pada 21-17 Agustus 1925, Kiai Wahab masuk sebagai salah seorang utusan yang akan berangkat ke Mesir. Di tengah persiapan itu, tiba-tiba datang undangan terbuka penguasa Hijaz yang baru, Ibnu Saud, yang juga akan mengadakan Kongres Khilafah.


Karena penguasa Hijaz menguasai dua tanah suci (Haramain), maka undangan Ibnu Saud mendapatkan atensi yang lebih tinggi. Utusan ke Kongres Khilafah di Mesir pun dibatalkan. Lalu dijadwalkan Kongres Al-Islam yang lebih awal pada 6-8 Februari 1926 di Bandung. Dalam kaitan dengan pendirian NU pada 31 Januari 1926, muncul pertanyaan: mengapa para ulama bermazhab menanggapi lebih awal, yaitu seminggu sebelum kongres di Bandung? 


Rupanya, CSI secara tersendiri mengusulkan H.O.S. Tjokroaminoto dan KH Mas Mansoer sebagai utusan yang akan menghadiri Kongres Khilafah di Hijaz. Upaya ulama bermazhab untuk mendesakkan perihal peribadatan di Tanah Suci agar menjadi agenda utusan ke Hijaz tidak digubris. CSI melihat Kongres Khilafah melulu dari kacamata politik, sementara para ulama bermazhab melihat lebih jauh dari itu.


Melihat sikap CSI itu, kelompok ulama bermazhab berembuk untuk mengirimkan utusan terpisah. Rembukan tersebut mengkristal pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344) yang menyepakati pendirian NU. NU lalu memutuskan untuk mengutus KH R. Asnawi ke Hijaz. Tak diduga tak dinyana, Kiai Asnawi ketinggalan kapal yang berangkat dari pelabuhan Surabaya. Panitia lalu menghubungi kapal yang berangkat dari Singapura, tapi juga tidak tersedia. Akhirnya, NU hanya mengirimkan telegram ke panitia Kongres Khilafah di Hijaz.


Ketegasan para ulama bermazhab yang mendirikan NU dan mengirim utusan sendiri untuk mengikuti Kongres Khilafah di Hijaz, sekalipun gagal berangkat, cukup mengagetkan para pemimpin SI. Mereka sadar bahwa selama ini kurang memberi perhatian dan tempat kepada para ulama. Maka, pada pertengahan 1926, SI membentuk Majelis Ulama Sarekat Islam sebagai pelembagaan dari Musyawarah Ulama yang sebelumnya sudah ada.


Setahun berselang, pada 1927, Kongres Khilafah untuk kedua kali diadakan di Hijaz. Kongres kedua ini tidak juga menghasilkan khalifah baru yang menggantikan Kekhalifahan Usmani. Dengan demikian, ulama NU tidak terlibat dalam dua kongres khilafah yang gagal tersebut.


Keberangkatan ke Hijaz & Berkembangnya Organisasi

Karena NU sudah berdiri, para ulama kemudian berkonsentrasi menata organisasi ini. Kongres pertama diselenggarakan pada Oktober 1926 dengan mengundang para ulama terkemuka di Jawa dan Madura. Hingga kongres kedua pada 1927, belum diputuskan pembentukan cabang. Tampak para pendiri NU sangat berhati-hati dan cermat melihat situasi dan kondisi saat itu. 


Setelah mendapatkan kepastian bahwa kedua kongres di Hijaz gagal, NU kemudian berinisiatif mengirimkan kembali utusan ke Hijaz secara mandiri dan independen pada Maret 1928. Utusan yang dikirim adalah KH Abdul Wahab Chasbullah dan Syekh Ghanaim al-Amir. Kedua utusan ini tidak terkait dengan Kongres Khilafah, melainkan murni untuk urusan peribadatan di Haramain sebagaimana perhatian para ulama bermazhab sebelumnya. Selain meminta jaminan kebebasan beribadah sesuai mazhab empat, Kiai Wahab juga menyampaikan sejumlah masukan untuk perbaikan pelayanan ibadah haji. 


Kedua utusan NU diterima secara baik oleh Raja Hijaz atas bantuan Konsul Hindia Belanda Daniel van der Meulen. Perjalanan inilah yang dibukukan oleh Diaz Nawaksara serta Ahmad Ginanjar Sya’ban dengan judul Oetoesan Comite Hidjaz dan akan diterbitkan oleh LTN PBNU bersama Lesbumi PBNU pada akhir Maret 2023. Penerbitan ini diawali dengan pameran foto Utusan Komite Hijaz di Surabaya dan Jombang pada 5-6 Februari 2023 menjelang puncak peringatan Satu Abad NU di Sidoarjo. Buku Comite Hidjaz menunjukkan peran internasional NU secara mandiri dan independen sejak awal didirikan.


NU semakin fokus menata lembaga dan memperluas jangkauan. Cabang pertama didirikan pada Mei 1928, yaitu Cabang Jombang. Pada Kongres NU ketiga September 1928, telah ada 35 cabang yang mengikutinya. Setelah tiga kali berkongres di Surabaya, kongres keempat pada 1929 dilaksanakan di luar Jawa Timur, yakni di Semarang. Pada paruh pertama abad ke-20 di Hindia Belanda, kongres organisasi massa memang lazim dilaksanakan setahun sekali.


Dengan semakin banyak cabang yang berdiri, maka pengajuan badan hukum pun diproses pada 5 September 1929. Di tanggal 6 Februari 1930, turunlah beslit nomor 23 yang menyatakan NU telah berbadan hukum. NU kemudian diterima semakin luas di seluruh Hindia Belanda. Lima tahun setelahnya, tercatat 70 cabang NU yang didirikan. Di sisi lain, SI semakin redup, apalagi setelah Tjokroaminoto wafat pada 1934.


Iip D. Yahya, Direktur Media Center PWNU Jawa Barat