Opini

Gerhana dan Mitos yang Menyertainya

Kamis, 26 Desember 2019 | 06:15 WIB

Gerhana dan Mitos yang Menyertainya

Bagi perempuan yang sedang mengandung, sebagian orang Jawa meyakini gerhana dapat berakibat fatal. Janin dikhawatirkan lahir tidak sempurna.

Oleh Fathoni Ahmad
 
Sebagian wilayah Indonesia sedang menikmati fenomena langit langka, gerhana matahari cincin (GMC), pada 26 Desember 2019 mendatang. Disebut langka karena gerhana matahari cincin terakhir terjadi sekitar satu dekade lalu dan berikutnya akan berlangsung pada 2031.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa gerhana matahari cincin pada 26 Desember 2019 hari ini, sebelumnya pernah terjadi di Indonesia 26 Januari 2009 dan pada 22 Agustus 1998.
 
Selain gerhana matahari cincin juga ada gerhana matahari total yang terakhir kali dinikmati di Indonesia pada Maret 2016 dan sebelumnya juga terjadi pada 18 Maret 1988 dan 11 Juni 1988.
 
 
Masih menurut catatan BMKG, gerhana matahari total berikutnya di Nusantara akan terjadi pada 20 April 2023 dan pada 20 April 2042. Adapun gerhana matahari cincin berikutnya di Nusantara akan terjadi pada 21 Mei 2031 dan 14 Oktober 2042.
 
Gerhana matahari total sempat dianggap bencana oleh masyarakat dunia, termasuk masyarakat di Indonesia. Ketika gerhana matahari total terjadi pada 11 Juni 1983 silam yang juga melewati kawasan Indonesia, masyarakat menganggap itu ulah Batara Kala, putra dewa yang berwujud raksasa akibat terkena kutukan.

Dalam mitologi Jawa, Batara Kala menaruh dendam terhadap Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Soma (Dewa Bulan) dan terus mengejar mereka. Saat tertangkap, Batara Kala akan menelan dewa-dewa itu sehingga langit jadi gelap gulita.
 

Maka, ketika gerhana terjadi, masyarakat akan ramai-ramai bersembunyi dan memukul lesung, membuat kebisingan agar Kala memuntahkan matahari atau bulan yang ditelannya.

Bahkan, pemerintahan Soeharto sempat geger menghadapi gerhana matahari total hingga membentuk Panitia Nasional Gerhana Matahari. Seluruh masyarakat tidak boleh keluar rumah saat gerhana matahari total berlangsung. Jika nekat, siap-siap saja mata jadi buta.

Dalam Jurnal Baca, Volume 8-9 tahun 1982 seperti dikutip dari Tirto, pemerintah Orde Baru bahkan membentuk Panitia Nasional Gerhana Matahari sejak jauh-jauh hari. Panitia ini terdiri dari berbagai lembaga ilmiah maupun instansi resmi, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan, dan seterusnya.
 

Apapun yang dikatakan pemerintahan Soeharto saat itu sangat berpengaruh dan ditaati oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Suasana mencekam pun berlangsung selama langit mendadak menjadi gelap pada siang hari tersebut.

Ketakutan warga kian besar karena mitos-mitos terkait gerhana masih sangat diyakini masyarakat, baik di Jawa maupun di daerah-daerah lainnya di Indonesia dengan kisah atau keyakinan lokal yang tidak selalu sama.

Bagi perempuan yang sedang mengandung, sebagian orang Jawa meyakini gerhana dapat berakibat fatal. Janin dikhawatirkan lahir tidak sempurna. Sang calon ibu bahkan bisa saja meninggal dunia apabila tidak diselamatkan dengan melakukan ritual.

Maka, menurut kepercayaan, wanita hamil harus diungsikan ke tempat yang dianggap aman, misalnya masuk ke kolong tempat tidur. Sementara itu, dilakukan ritual sego rogoh atau tradisi liwetan, yaitu memasak nasi beserta lauknya kemudian disantap beramai-ramai. Tradisi ini masih kerap diterapkan hingga kini di beberapa desa di Jawa.

Batara Kala atau Kala Rahu, muncul berbagai mitos dalam kepercayaan sebagian orang Jawa seputar gerhana matahari atau bulan. Jika terjadi gerhana, sebagian masyarakat harus segera pulang untuk menyelamatkan sumber penghidupannya di desa.
 

Sawah atau lahan pertanian, dalam kepercayaan orang Jawa zaman dulu, harus disirami air selama gerhana terjadi agar tidak rusak dan gagal panen. Jika punya kebun yang menghasilkan bahan pangan, seperti pohon-pohon buah, harus dipukul-pukul batangnya supaya selamat dari terjangan murka Batara Kala.

Hewan-hewan ternak juga harus dijaga jangan sampai tertidur selama gerhana berlangsung dengan cara dicambuk-cambuk pelan dengan dahan pohon. Jika tidak, hewan-hewan yang merupakan aset kehidupan itu terancam mati setelah gerhana usai. Begitulah mitosnya.

Dikisahkan pula dalam mitologi Jawa, bagian setengah leher ke bawah Batara Kala berubah menjadi lesung (tempat menumbuk padi). Maka, ketika terjadi gerhana, orang-orang beramai-ramai memukuli lesung, juga membuat kebisingan dengan berbagai cara, agar Kala memuntahkan matahari atau bulan yang dimakannya.
 

Penulis adalah Redaktur NU Online