Opini

Kecerdasan Seorang Keturunan Rasulullah

Sabtu, 30 September 2023 | 10:00 WIB

Kecerdasan Seorang Keturunan Rasulullah

Ilustrasi Rasulullah Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Tidak sedikit hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ali Zainal Abidin yang merujuk langsung kepada ayahnya, Imam Husein, juga dari pamannya Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sebagian hadits-haditsnya juga merujuk kepada Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Jabir hingga Ummu Kultsum dan Aisyah. Sebagai ahli ilmu yang cukup piawai, Ali Zainal Abidin juga termasuk cicit Rasulullah yang tekun dalam menjalani urusan-urusan ubudiyah.


Trauma atas peristiwa tragis di Padang Karbala yang mengakibatkan kematian ayahnya, Husein, justru membuat Ali Zainal Abidin bangkit untuk menenangkan masyarakatnya. Tindakan represif dari kaum penguasa, dinilainya sebagai penyakit rohani yang menghembuskan jiwa kepada nafsu-nafsu duniawi semata. Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, Ali Zainal Abidin menyusun lembaran-lembaran doa yang terhimpun dalam As-Shahifah As-Sajjadiyah.


Secara implisit, cicit Rasulullah itu juga menyatakan pentingnya tanggung jawab moral untuk membela hak-hak kemanusiaan. Bukan hanya ukhuwah islamiyah, melainkan lebih luas lagi sesama makhluk Tuhan (ukhuwah makhluqiyah). Sebelum lahirnya dokumen Magna Charta di Inggris tentang pentingnya membela Hak-hak Asasi Manusia (HAM), belasan abad lalu Ali Zainal Abidin sudah menyusun Risalah al-Huquq, yang bukan hanya memperinci hak manusia atas sesamanya, melainkan juga hak rakyat atas pemerintah, dan juga pemerintah kepada rakyat yang dipimpinnya.


Ketika dekadensi moral melanda kekuasaan Bani Umayyah, Ali Zainal Abidin berwasiat kepada murid-muridnya: "Semoga Allah melindungi kita semua dari siasat dan tipu muslihat orang-orang zalim yang selalu memaksakan kehendaknya. Kalian jangan sampai terhasut pada kehendak para thagut, yang hanya sibuk pada urusan ambisi duniawi semata. Wahai kaum mukminin, kalian sendiri sudah melewati berbagai hasutan dan fitnah dalam keadaan selamat. Sekarang, bersandarlah hanya kepada Allah, juga kepada wali-wali-Nya. Merekalah yang layak kalian percayai ketimbang para penguasa yang mengejar hasrat dan nafsu-nafsu duniawi semata."


Sahabat yang baik

Lebih lanjut, Ali Zainal Abidin menyarankan agar berhati-hati berkawan dengan orang-orang bodoh. Karena apa-apa yang disampaikannya seakan ingin menguntungkan kita, namun hakikatnya akan merugikan dalam jangka panjang. "Tak perlu berkawan dengan orang angkuh yang gampang memutuskan tali silaturahmi, karena di dalam Al-Qur'an ditegaskan, agar ketika manusia berada di atas (berkuasa), hendaknya ia tidak berlaku pongah kepada mereka yang berada di bawah. Sebab, sikap semacam itu menunjukkan bahwa ia telah dibutakan mata-hatinya oleh Allah Swt."


Keluhuran budi yang dimiliki Ali Zainal Abidin, membuatnya sangat fasih memberikan konsep tentang solidaritas dan persaudaraan. Baginya, sahabat yang baik adalah dia yang tetap konsisten memberimu kepercayaan, baik di kala senang maupun sedih. "Janganlah kamu meninggalkan teman karena menganggap ia tidak memberi manfaat bagimu. Karena boleh jadi, pada saat tertentu ia dapat berbaik hati dan mengulurkan bantuannya kepadamu."


Bagi Ali Zainal Abidin, seorang pendendam dan pendengki (hasad) sulit baginya untuk meraih tangga-tangga kemuliaan. Ia akan selalu mencari-cari momentum agar mendekatimu di saat kamu dalam kemakmuran, tetapi ia akan menjauh dan berpaling darimu di saat kamu dalam kesulitan. Padahal, hanya dengan keikhlasan dan kerelaan hati pada takdir Allah, suka maupun duka, di situlah martabat dan kebesaran jiwa akan teruji dengan baik.


Dosa kolektif

Berita-berita yang berseliweran, bercampur dengan isu, rumor dan hoaks di sana-sini, khususnya yang melanda kaum muslimin di era sahabat hingga tabi'in, tak lain sebagai dosa dan kesalahan kolektif yang jika tak diantisipasi dengan baik, akan terus merajalela secara tidak proporsional. Peristiwa kematian Utsman, Ali, hingga tragedi di Padang Karbala tentu membutuhkan penanganan serius, serta kedewasaan semua pihak agar dapat menyikapinya dengan baik.


As-Shahifah As-Sajjadiyah yang disusun Ali Zainal Abidin, layaknya sebuah buku dokumen (mushaf) yang merupakan cerminan dari kehidupan sosial pada masa itu, khususnya di Madinah dan sekitarnya. Buku itu tak ubahnya sebuah kumpulan syair dan doa-doa untuk memohon perlindungan Allah atas segala perilaku kotor dan khilaf, baik dari pikiran, ucapan maupun tindakan yang bersifat anarkis dan membahayakan. Itulah yang menjadi pangkal dari segala kesalahpahaman dan kebodohan, yang justru seringkali dimanfaatkan petualang-petualang politik demi meraih target-target kepentingan duniawi semata.


Ketika ayahnya, Imam Husein diperlakukan sewenang-wenang oleh tentara-tentara Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala, Ali Zainal Abidin yang mulai beranjak remaja (11 tahun), sedang berada di dalam kemah. Kala itu, ia menyaksikan beberapa anggota keluarganya yang berguguran, sehingga kenangan getir tak pernah lepas dari benak dan memorinya.


Setelah perang usai, Ali Zainal Abidin dan beberapa keluarga yang masih hidup, ditawan di wilayah Kufah, Irak. Beberapa tentara bengis hendak membunuhnya, namun kemudian bibinya Zainab segera memeluknya, serta berteriak bahwa ia masih anak-anak. Tak lama kemudian, para tawanan dipindah ke Damaskus, Syria, serta dipertemukan dengan Khalifah Yazid bin Muawiyah. Sampai kemudian, muncullah keputusan politik untuk membebaskannya.


Seorang putera Ali Zainal Abidin yang bernama Muhammad Al-Baqir, kerapkali bercerita mengenang ayahandanya: "Sikapnya selalu tenang, baik dalam suka maupun duka. Tiap kali mendapat nikmat Allah, Ayah terbiasa bersujud. Ia selalu melakukan sujud, bahkan setelah melakukan sembahyang atau membaca Alquran. Ia juga akan bersujud, terutama setelah berhasil mendamaikan dua orang atau dua kelompok yang saling berselisih."


Terkait dengan keilmuannya, seorang ulama dan cendekiawan muslim, Yahya al-Anshari sangat mengagumi Ali Zainal Abidin sebagai keturunan Bani Hasyim yang paling mulia dan zuhud. Karena ketinggian makrifatnya, jiwa dan pikirannya senantiasa diliputi dengan ketentraman dan kelapangan hati.