Opini

Penipuan Sektarian: Kerajaan Agung Sejagat dan Sunda Empire

Sabtu, 18 Januari 2020 | 09:00 WIB

Penipuan Sektarian: Kerajaan Agung Sejagat  dan Sunda Empire

Kerajaan Agus Sejagat (Foto: Kumparan)

Oleh Warsa Suwarsa
 
Sektarianisme tidak sekadar semakin terlihat dalam perpolitikan, misalnya penggunaan identitas dan simbol tertentu untuk kepentingan kelompok. Munculnya dua kerajaan “abal-abal” dalam waktu yang hampir bersamaan menjadi salah satu indikasi, sektarianisme telah menjalar sampai kepada praktik penipuan. 

Kenapa manusia cenderung mudah diperdaya oleh hal-hal berbau sektarianisme dan unsur primordial di era disrupsi ini? Alasan mendasarnya adalah kecenderungan manusia memang selalu ingin mencari keuntungan dengan mudah, dalam terma kasundaan ingin selalu cespleng.

Namun di samping sifat dasar manusia seperti di atas, munculnya sektarianisme disebabkan oleh faktor domain baik secara sosial, kultural, dan –terutama alasan politik-. Sektarianisme pada tiga permasalahan terutama politik dapat dikatakan lebih berbahaya dari pada sektarianisme atas alasan penipuan. Kerugiannya tidak sebesar penipuan. 

Sektarianisme dalam bidang sosial, kultural, dan politik berdampak mengglobal, dapat melahirkan polarisasi atau pengkutuban di dalam kehidupan. Bahkan cenderung tidak menggubris persamaan agama, jika tidak memberikan dukungan atau loyal kepada kelompok tertentu sudah pasti mereka dicap ada di luar kelompoknya, jika tidak dikatakan sesat sebutan lainnya yaitu lawan.

Sektarianisme atau paham kesektean (chauvinisme) atas alasan penipuan merupakan salah satu bentuk sektarianisme di bidang sosial. Deklarasi Kerajaan Agung Sejagat sebetulnya tidak mengganggu keamanan negara tetapi jika dibiarkan apalagi jika pemerintah cenderung membiarkan praktik-praktik seremonial dan upacara kerajaan abal-abal tersebut akan memengaruhi kelompok lain untuk melakukan tindakan yang sama.
 
Kegiatan-kegiatan seperti itu apalagi telah menggunakan simbol-simbol tertentu harus diberangus oleh pemerintah demi alasan mengganggu ketertiban masyarakat. Dalam dinamika sosial, peristiwa ini hanya merupakan rentetan antara terhadap peristiwa-peristiwa sosial yang lebih besar saat ini, terutama lahirnya polarisasi dan pengkutuban warga negara demi alasan-alasan primordialisme. 

Jika ditelaah secara saksama, ada kemiripan antara Kerajaan Agung Sejagat dengan Sunda Empire Earth Empire. Kedua kelompok ini menggunakan simbol militer, konsepsi yang sama tentang kekuasaan universal, simbol kuno sebagai kerajaan matahari, sebuah kerajaan yang diyakini oleh beberapa kelompok pernah menjadi penguasa tunggal bumi di era pararaton, era awal peradaban manusia.
 
Konsep yang dikembangkan oleh kedua kelompok ini adalah sistem balas jasa, mereka meyakini, nenek moyang kita di masa lalu telah menguasai planet bumi dan memberikan sumbangsih serta berpartisipasi terhadap lahirnya peradaban-peradaban baru, maka kewajiban generasi sekarang adalah mencari, menemukan, dan mengambil kembali sisa-sisa peradaban tersebut. Tentu saja di era rasional, konsep-konsep semacam ini dapat ditepis. Namun di sisi lain karena unsur primordial diembuskan tidak sedikit orang percaya kepada khurafat modern ini. Apalagi jika ujung-ujungnya dihubung-hubungkan dengan uang, harta karun, UB, dan penarikan benda-benda pusaka.

Sampai saat ini, romantisme atau paham membanggakan hingga menginginkan sebuah kehidupan ideal meskipun tampak utopis tetap dirindukan oleh semua orang. Dengan kalimat sederhana saja, misalnya dulu nenek moyang kita merupakan orang-orang hebat, sontak pikiran kita larut dalam sebuah kenangan yang sama sekali tidak pernah kita alami. Hizbut Tahrir Indonesia, di era awal kelahirannya sering menyodorkan konsep-konsep utopis kepada sasaran dakwahnya melalui cerita enaknya kehidupan di era imperium Islam. 

Mereka melupakan satu hal bahwa sejarah kehidupan manusia tidak selalu dipenuhi oleh taman bunga, juga menyediakan duri yang dapat mengeluarkan nanah. Karena konsep yang ditawarkan tersebut bersifat ideal, sementara di dunia realitas dipenuhi oleh kebobrokan, manipulasi, KKN, dan ketidakberesan tidak sedikit orang langsung percaya bahwa khilafah merupakan solusi atau jalan keluar setiap persoalan. Orang akan mudah tertipu oleh kesejahteraan, harapan-harapan, sama halnya dengan mudahnya kita diiming-imingi oleh kontestan pemilu, bukankah setiap partai dan caleg memberikan janji politis yang selalu mirip?

Primordialisme dan Sektarianisme
Manusia sebagai mahluk berbudaya, ungkapan ini telah diakui bukan oleh manusia sendiri, dalam setiap kitab suci pun demikian. Al-Qur’an menyitir manusia sebagai khalifah, mahluk terbarukan dan penuh dengan pembaharuan, jenis mahluk seperti ini identik dengan perkembangan peradaban. Pengakuan diri kita sebagai mahluk berbudaya, berperadaban, dan mulia ini kadang membuat manusia lupa daratan. Tidak sekadar merendahkan mahluk tidak sejenis, kepada sesama manusia pun hanya karena berbeda warna kulit, muncul sikap primordial bahwa manusia ras kulit tertentu lebih unggul dari manusia ras kulit berwarna tertentu lainnya. Egoisme seperti ini lahir karena manusia telah mengklaim dirinya sebagai penguasa di bumi hingga alam semesta.

Padahal sebelum fajar zaman sejarah lahir, posisi manusia menempati anak tangga paling rendah pada piramida kehidupan. Jumlah dan kekuatan manusia menjadi bulan-bulanan predator buas. Kepiawaian manusia dalam beradaptasi karena memang telah direncakan sebagai mahluk pembaharu secara perlahan dapat merebut posisi anak tangga piramida kehidupan. Sejak zaman sejarah, manusia telah mulai melakukan kerja sama, kesepakatan, dan hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, saat spesies lainnya seperti binatang sama sekali tidak pernah memiliki pikiran melakukan koordinasi dengan sesama jenisnya. Dengan koordinasi inilah manusia sampai sekarang telah tampil sebagai mahluk superior atas mahluk lainnya. Sikap superior ini berdampak pada hal lainnya, manusia telah tampil sebagai tuan yang harus dilayani. Saat binatang dan tumbuhan dapat dikalahkan oleh manusia, mahluk berperadaban ini selanjutnya mencari-cari lagi harus memiliki lawan yang memiliki kekuatan sebanding meskipun dengan sesama manusia. 

Dalam kajian antropologi 500.000 tahun lalu telah terjadi pertempuran besar antara homo erectus melawan homo neanderthal. Homo erectus sebagai nenek moyang pengembara dapat mengalahkan neanderthal pengisi goa-goa sempit di wilayah Eropa saat ini. Di era tersebut, pertikaian itu merupakan perang besar. Setelah pertempuran tersebut, homo erectus merasa diri telah berada di posisi nyaman, lebih banyak bermalas-malasan, pada fase ini spesies mereka punah. Berbeda dengan neandertal, hominid ini karena merasa sebagai minoritas, terus bertahan, cekatan, dan dapat membuat alat-alat agar mereka tetap bertahan dalam kehidupan. Sampai 40.000 tahun lalu, Neanderthal masih berkembang sebelum terdesak oleh sapiens. Perkembangan selanjutnya melahirkan sapiens, manusia modern yang dapat bertahan sampai sekarang. Kajian antropologis ini dapat dijadikan alasan kenapa sampai saat sekarang kelompok-kelompok manusia selain menggemari koordinasi dan saling membutuhkan juga dapat dengan tiba-tiba saling serang dan berperang.

Selama kurun waktu jutaan tahun telah menempa manusia, hubungan manusia dengan alam dan dirinya telah memperbesar ukuran otak, struktur tubuh ideal, cara-cara baru bagaimana manusia dapat mempertahankan dirinya. Evolusi yang dicetuskan oleh Darwin sebetulnya ingin menyodorkan pandangan seperti ini, tetapi pada tahap tertentu karena dicetuskan pada era transisi dari abad kegelapan ke abad pencerahan teori Darwin disederhanakan dan dibenturkan dengan konsep human fall yang menyebutkan bahwa asal-usul manusia di bumi dari kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga, muncul anggapan bahwa manusia berasal dari kera. Kaum beragama akan berbeda pandangan jika evolusi atau perkembangan manusia menyebutkan bahwa asal-usul manusia berasal dari manusia berpikiran sederhana menjadi manusia berpikiran luas. Namun tetap saja apakah teori evolusi atau konsep kejatuhan manusia tetap saja belum dapat dibuktikan secara ilmiah, penganut teori evolusi tetap percaya bahwa teori merupakan hipotesa, sementara pada penganut human fall menyebutkan ini merupakan wilayah keimanan kami, tidak dapat diganggu gugat.

Sikap primordial telah lahir dari masa ke masa. Kekuasaan Mesir Kuno 4000 SM telah melahirkan pandangan orang-orang Mesir terutama Pharao sebagai titisan Amun Ra, dewa matahari. Bangsa-bangsa lain merupakan hamba sahaya atau budak-budak yang harus dijadikan alat. Bangsa Yahudi saat itu diperlakukan sebagai budak oleh bangsa Mesir. Bukankah bangsa Yahudi keturunan Ibrahim dari jalur Ishaq merupakan bangsa pilihan Tuhan? Klaim primordial yang ditulis ini lahir belakangan, sebagai penyemangat bahwa bangsa Yahudi harus bebas dari perbudakan. Sikap primordial Pharao dilawan dengan sikap primordial lainnya. Perbudakan oleh Mesir Kuno kepada bangsa Yahudi berlangsung selama 400 tahun. 

Di belahan bumi lain, kekaisaran Persia kuno lahir bersamaan dengan kejayaan Mesir Kuno. Persia (Iran; Ras Aryan) tampil sebagai sebuah imperium besar pada zamannya. Watak bawaan sebagai manusia unggul itu tetap mengendap dalam diri manusia. Tidak hanya pada bidang social, pandangan dalam beragama pun demikian, orang Mesir Kuno menganggap hanya keyakinan mereka yang akan diterima oleh Ra, orang Persia pun demikian hanya penganut Zoroaster yang akan menempati sorga, tradisi Yudaisme dengan pandangan hetnoteisme pun demikian. Di ambang kehancuran Persia, lahir imperium Rowami Kuno. Di era Konstantin, keyakinan yang dianut oleh orang-orang Romawi merupakan paganisme, para pendeta pengembara dari Romawi Timur dapat meyakinkan Konstantin, tradisi kekeristenan mulai diadaptasi oleh kekaisaran. Sampai abad ke-3 Masehi, dua kekaisaran besar: Romawi dan Persia terus mengembangkan pengaruh-pengaruhnya, Bangsa Yahudi tetap mengembangkan tradisi-tradisi leluhurnya, keyakinan yang tidak mungkin dianut oleh bangsa lain.

Abad ke-7 hingga 15, imperium Islam lahir, dua kekaisaran besar dapat ditumbangkan. Sebuah imperium terbesar yang memanjang dari Afrika sampai ke Timur Asia. Apakah sikap primordial muncul dari imperium Islam? Tentu saja, meskipun Al-Qur’an sangat jelas menyebutkan: Setiap manusia merupakan umat yang satu, namun pada sisi lain “ummatan waahidah” ini ditafsirkan oleh kekuasaan atau politik sebagai hubungan kemanusian tetapi dijadikan dasar bagaimana agar manusia memiliki satu keyakinan, pandangan hidup yang sama. 

Ada hal menarik, pada masa keemasan imperium Islam, banyak sarjana Muslim yang lebih mengkonsentrasikan diri pada ilmu pengetahuan daripada bermesraan dengan kekuasaan. Kelompok ini tetap konsern pada penelitian-penelitian, penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dilakukan oleh para sarjana muslim. Kelompok-kelompok seperti inilah yang dapat meredam sikap primordial daripada kelompok yang mendapatkan sokongan dari penguasa. Kelompok politis dalam Islam ini lebih mengarah kepada sektarianisme. Kompromi antara Abdul Wahab dengan Saud telah melahirkan hubungan jenis ini. Sementara keberagamaan yang dikembangkan oleh para ulama salaf cenderung lebih cair, mereka memandang bahwa keragaman sebagai sebuah keniscayaan dan disebutkan dalam Al-Qur’an dijadikan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa sektarianisme dan sikap primordial akan terus membersamai kehidupan manusia. Sikap itu dapat dilahirkan oleh cara pandang yang tidak tepat terhadap agama, sosial, budaya, dan politik. Pandangan dan paham seperti ini dikatakan tidak baik karena sejarah telah membuktikan saat kekuasaan dibangun atas dasar sektarianisme dan primordialisme tidak akan bertahan lama. Sebagai contoh, kekuasaan Nazi yang dibangun di bawah landasan berpijak primordialisme hanya bertahan beberapa tahun saja. Yang dapat mempertahankan keberadaan spesies manusia hingga sampai sekarang adalah semangat koordinasi, hubungan timbal balik atas dasar perikemanusiaan. Jika tidak demikian, satu juta tahun lalu, manusia sudah mengalami kepunahan.
 
 
Penulis adalah guru MTs dan MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Sukabumi