Opini

Puisi Persia di Makam Barus

Rabu, 5 September 2018 | 10:00 WIB

Puisi Persia di Makam Barus

(Foto: lifelsstoryofjourney)

Oleh Bastian Zulyeno
Entah sejak kapan penduduk Nusantara mengenal puisi. Setidaknya, dalam tradisi lisan, bangsa ini sudah sejak lama akrab dengan ekspresi yang belakangan kita kenal sebagai puisi. Mantra, jampi-jampi, doa pengasihan atau rapal santet, peribahasa dan bidal, sesungguhnya merupakan bentuk puisi. Boleh jadi lantaran mereka berada dalam ranah kelisanan, para pengamat sastra kita abai memasukkannya sebagai puisi dan lebih terpukau pada teks tertulis.

Dalam tradisi sastra Jawa, JJ Ras (2014) mengatakan, “Sejarah sastra tulis di Jawa berawal pada tahun 856 M dengan teks puisi tertua yang terlestarikan dalam bahasa Jawa (kuna). Teks tersebut terdiri atas 29 bait dalam berbagai matra, dipahat di atas batu sebesar 112 x 50 cm yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta.”

Dalam pandangan Ras, awal mula bangsa Nusantara mengenal tulisan dimulai sejak masuknya kebudayaan India ke Nusantara.

Pengaruh kebudayaan India dalam tradisi sastra Melayu belakangan terdesak setelah masuknya Islam. Dalam perkara puisi, Hamzah Fansuri ditempatkan sebagai perintis. Periksa saja pandangan Braginsky, Teeuw, Abdul Hadi, Skinner. Bahkan, puisi yang diperkenalkan Hamzah Fansuri, menurut Braginsky (1998), perpaduan antara ruba’i Persia dan pantun Melayu.

Lalu, bagaimana tentang Barus?

Dalam risalah tasawufnya, Fansuri mengatakan: Hamzah Fansuri di dalam Ka’bah/Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah/Di Barus ke Qudus terlalu payah/Akhirnya dapat di dalam rumah//Kembali, kita berjumpa dengan kata Barus atau Fansur yang dikatakannya sampai delapan belas kali.

Syair dalam inskripsi berbahasa Persia terdapat di makam Syekh Mahmud di kompleks pemakaman Papan Tinggi, berdekatan dengan Kampung Fansur. Makam itu berada di puncak bukit dengan sekitar 800 anak tangga untuk mencapainya. Area pemakaman berukuran 20 x 15 m dengan jumlah makam delapan makam, tujuh makam berkelompok dan memiliki bentuk nisan sederhana terbuat dari batu andesit dan alami sehingga tidak tampak adanya kaligrafi Islam dan ragam hias.

Satu makam lagi terpisah dari tujuh makam lainnya yang merupakan makam utama tokoh aulia 44. Konon, itulah makam Syekh Mahmud Al-Hadramaut yang terbuat dari bahan batu granit. Pada bagian kepala nisan terdapat inskripsi dari ayat-ayat Al-Quran. Bagian dalam, baik badan dan kepala nisan, terdapat inskripsi berbahasa Persia dengan aksara Arab-Perso (Aksara Persia setelah kedatangan Islam). Epigrafi seperti ini jarang sekali ditemukan di seluruh Nusantara (Ludvik Kalus, 2007).

Sampai tahun 1979 inskripsi berbahasa Persia ini belum berhasil dibaca para peneliti (Lukman Nurhakim, 1979). Sejauh ini, baru Ludvik Kalus tahun 1999 yang berhasil membaca tulisan dan mengkaji isinya.

Inskripsi Persia yang tertulis di nisan tersebut terdapat pada bagian kepala dalam bentuk puisi. Pada bagian kepala terdapat teks: Jahan yadgar ast ma raftani/ze mardum nemanad bejuz-e mardumi//yang diterjemahkan Ludvik (2007:304) sebagai: Dunia adalah kenangan hatimu, kami harus pergi/Dalam kehidupan yang nyaman tidak ada saat yang tinggal//Saya sendiri menerjemahkannya: Dunia adalah kenangan, kita akan pergi/Yang tersisa dari manusia hanyalah kemanusiaan//

Jika diterjemahkan kata per kata, puisi itu berbunyi “Jahan (Dunia) yadgar (kenangan) ast (to be untuk kata ‘dunia’ dan ‘kenangan’) ma (Kami) raftani (nomina verba dari kata ‘pergi’) ze (bentuk lain dari az, preposisi yang berarti dari) mardum (manusia) nemanad (tersisa atau tertinggal) bejuz (kecuali) mardumi (kemanusiaan).

Tampaknya Ludvik menerjemahkannya secara bebas. Ada penambahan kata yang justru menghilangkan simbol substansi filosofi khas tasawuf. Dalam bagian keterangan mengenai puisi itu, Ludvik menyebutkan jika puisi di atas dapat ditemukan juga pada sebuah nisan bertarikh abad ke-10 H (14 M) di Uzkent, Kirghiztan, dengan sedikit perubahan di bagian akhirnya.

Sejauh ini, untaian puisi tadi, diketahui ditulis penyair Persia abad ke-10, Firdausi (940-1020 M) dalam mahakaryanya Syahnameh. Nama lengkapnya, Hakim Abul Qasim Firdausi, penyair dan penulis epik, lahir di desa Baj, Thus, Khurasan, Iran, antara tahun 329-330 H atau sekitar 940 M.

Puisi Firdausi yang terdapat pada nisan Syekh Mahmud dapat ditelusuri pada buku Syahnameh, Bab Peperangan antara Rostam dan Esfandiyar Pasal 26. Bab yang berisi salah satu kisah terindah dan penuh makna, juga paling melankolis. Bab ini bercerita tentang Esfandiyar yang memenuhi permintaan ayahnya, Guystasb, untuk berperang melawan Rostam yang terkenal kuat dan disegani. Demi mempertahankan mahkota ayahnya, ia menantang Rostam.

Kisah ini banyak dihiasi dialog-dialog puitis dan filosofis saat-saat sebelum kedua pahlawan Persia ini bertarung. Banyak juga nasihat indah Rostam pada Esfandiyar agar tidak bertarung atas nama kemanusiaan dan kesucian tanah Persia. Pertarungan berakhir dengan kematian Esfandiyar di tangan Rostam Dastan, sang legendaris dan pahlawan terbesar dalam epik Persia.

Meski Syahnameh tak dikenal sebagai karya tasawuf, melalui pendekatan konstruktivisme, bahwa makna direkonstruksi melalui bahasa yang melahirkan konsep dari proses representasi yang erat kaitannya dengan identitas Persia. Sejak abad ke-10 tasawuf dan sastra sufistik berkembang pesat di tanah Persia. Di saat yang sama, Firdausi menyelesaikan mahakarya ini. Sufi besar Imam Ghazali yang juga berasal dari daerah Thus, wilayah Khurasan, Iran.

Melalui pendekatan tersebut jika dikaitkan dengan ajaran tasawuf, penggalan puisi pada nisan Syekh Mahmud, berhubungan dengan ajaran sufi yang melihat dunia sebagai rumah singgah belaka. Ada tiga pandangan berbeda mengenai dunia termaktub dalam teks-teks sastra sufistik. Pertama, memandang kehidupan dunia dengan mata negatif mutlak. Kedua, melihat dengan datar zahiriyah, dan ketiga melihat kehidupan sebagai realitas.

Simbol-simbol sufi yang terdapat pada makam-makam di Barus, seperti lentera dan bagian atas nisan berbingkai yang berbentuk mihrab, lazim digunakan pada nisan kuno di wilayah Asia Tengah dari tokoh atau mursyid sufi yang punya banyak pengikut. Hal ini menguatkan pendapat tentang kaum sufi yang ikut menyebarkan Islam di Nusantara yang berasal dari daerah tersebut.

Inskripsi berbahasa Arab dan Persia di makam-makam kuno Nusantara menyampaikan pesan bahwa bahasa intelektual yang berkembang di Nusantara saat itu adalah bahasa Arab dan Persia, di samping bahasa Melayu. Diplomasi puisi yang subur di ranah keilmuan Persia menjalar sampai ke tanah Nusantara. Puisi yang ditulis di makam di Barus seolah-olah berbicara mengenai zamannya. Bukan tanpa sengaja puisi tertulis di batu Nisan.

Diplomasi Budaya
Data itu membuktikan bahwa puisi sudah dikenal masyarakat Nusantara sejak lama dan para pembawa Islam ke Nusantara memilih puisi sebagai bagian dari diplomasi budaya. Hamzah Fansuri yang diduga hidup pada pertengahan kedua abad-16 dan juga lahir di Barus, menulis puisi dari intisari risalah tasawufnya. Dipastikan, ia menguasai bahasa Arab dan Persia, karena ada beberapa kata Persia yang tidak diterjemahkan ke bahasa Melayu. Begitu pula Raja Ali Haji, pengarang Gurindam Dua Belas yang lahir pada abad ke-19, menulis empat larik puisi berbahasa Persia pada karyanya Bustanul Katibin.

Dimensi sastra yang banyak terkandung dalam sejarah masuknya Islam di Nusantara bagi sebagian besar peneliti asing dianggap sempalan atau tidak penting untuk dikaji. Bahkan peneliti Barat, ada yang beranggapan, bahwa naskah kuno Melayu sebagai bukan karya asli orang Melayu, melainkan karya terjemahan. Di situlah kita perlu melihat dan menilai objek secara multidisiplin. Kasus makam Barus dapat dijadikan pintu masuk untuk meneliti objek lainnya berkaitan dengan puisi dan masuknya Islam ke seluruh Nusantara.

*) Pengajar Prodi Arab FIB UI, alumnus Departemen Kajian Persia, University of Tehran. Tulisan ini pernah dimuat di Republika pada Ahad 2 September 2018.