Opini

Sosialisasi dan Edukasi Aturan Pengeras Suara Masjid Lemah?

Sabtu, 26 Februari 2022 | 10:00 WIB

Sosialisasi dan Edukasi Aturan Pengeras Suara Masjid Lemah?

Ilustrasi: Masjid Istiqlal Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

TOA masjid dan mushola Kembali ‘menggema’. Tentu saja hal itu hanya metafora semata ketika aturan pembatasan pengeras suara masjid dan mushola kembali memantik polemik. Terutama ketika Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan tamsil (perumpamaan) pengeras suara, yang lazim disebut Toa atau sepiker, dengan gonggongan anjing.


Namun, penulis tidak ingin membahas tamsil Menteri Agama tersebut karena akar masalah dari aturan pengeras suara di masjid dan mushola ialah lemahnya sosialisasi dan edukasi. Akar masalah tersebut terbukti kerap muncul dan seolah diabaikan oleh para pegiat rumah ibadah, tak terkecuali saat momen hari-hari besar tiba.


Selain lemahnya sosialisasi dan edukasi, Kementerian Agama dan pihak-pihak terkait seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga mestinya intens melakukan pembinaan dan pengawasan. Penulis menyebut DMI karena lembaga tersebut juga memiliki tanggung jawab sebagai institusi yang menaungi masjid-masjid dan bersama Kementerian Agama mengeluarkan nomor resmi ID masjid.


Apapun jenis regulasi atau aturannya, pembatasan pengeras suara masjid sudah dilakukan sejak zaman Orde Baru. Saat itu, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah mengeluarkan aturan pengeras suara masjid. Regulasi yang hanya berupa instruksi tersebut tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola. Meskipun regulasi berupa instruksi tersebut sesungguhnya tidak cukup kuat untuk mengatur problem besar sehingga diperlukan penguatan regulasi.


Kemudian, penguatan regulasi berusaha dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melalui Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang diteken per 18 Februari 2022. Surat edaran sebanyak empat halaman tersebut mengatur tentang suara dalam dan suara luar dari pengeras suara di masjid dan mushola. Selain itu, volume dan waktu menyalakan sepiker pada momen sholat wajib, syiar Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari besar lainnya juga turut menjadi perhatian Kementerian Agama.


Upaya penguatan regulasi juga semestinya dibarengi dengan sanksi bagi masjid atau mushola yang melanggar surat edaran Kementerian Agama. Misal, sanksi yang bisa dilakukan ialah dengan mencabut nomor ID masjid. Masalahnya, berapa ratus ribu masjid dan mushola yang belum terdata dan mendapat nomor ID? Alasan itu pula yang menjadi salah satu sebab penggunaan sepiker di masjid dan mushola tidak terkontrol dan tidak terkendali.


Data Sistem Informasi Masjid (Simas) Kemenag RI mencatat bahwa jumlah masjid dan mushala di Indonesia seluruhnya ada sebanyak 741.991. Data ini merupakan data yang tercatat manual yang diperoleh secara berjenjang mulai dari Kantor Urusan Agama di setiap daerah. Sementara, Sistem Informasi Masjid per 29 Maret 2021 baru mencatat sekitar 598.291 masjid dan mushala yang ada di Indonesia.


Sebetulnya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengatur pembatasan pengeras suara di rumah ibadah. Ada Arab Saudi, Mesir, Malaysia, India, dan Nigeria yang memberikan aturan keras terhadap penggunaan pengeras suara di rumah ibadah.

 

Bahkan, aturan pengeras suara di India dipantau oleh pengadilan tinggi atau institusi hukum di tingkat provinsi. Adapun di Nigeria, aturan pembatasan pengeras suara tidak hanya ditujukan untuk masjid, tetapi juga gereja, hotel, dan kelab malam. Berbeda dengan negara-negara tersebut, penggunaan Toa di Indonesia diatur oleh Kementerian Agama tetapi tidak ada sanksi bagi yang melanggar.


Ada beberapa macam jenis suara yang keluar dari pengeras suara masjid. Suara-suara tersebut ialah azan, iqomat, puji-pujian, tarhim, takbiran, dan lain-lain. Resonansi suara dari pengeras selain ditujukan ke dalam (indoor), juga diarahkan keluar (outdoor). Ketika suara dari pengeras ditujukan keluar, inilah yang menimbulkan persoalan karena dianggap terlalu keras sehingga mengganggu apalagi suara tersebut tidak hanya muncul dari satu masjid, tetapi juga dari masjid lain yang terkadang jaraknya tidak terlalu jauh. Ditambah suara dari mushola-mushola terdekat.


Dalam kondisi masyarakat yang homogen pun, pengeras suara yang tidak terkontrol bisa menjadi problem. Apalagi ketika masyarakat di sekitar masjid heterogen atau berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, terutama di kota-kota besar dan masyarakat kosmopolit. Saking tidak tahannya dengan suara yang amat keras dari masjid, terkadang seseorang langsung memprotesnya tanpa tedeng aling-aling sehingga ditanggapi secara reaktif pula oleh pihak masjid.


Berawal dari hal itu, kemudian muncul tafsir subjektif dan tuduhan sepihak, “tidak mendukung syiar Islam”, “penistaan dan penodaan agama”, dan lain-lain. Dari kasus-kasus yang telah terjadi, pihak pemrotes tidak hanya dari kalangan non-Muslim saja, tetapi juga dari pihak Muslim sendiri yang mempunyai sejumlah masalah kesehatan ketika mendengar suara terlalu keras. Lagi-lagi, kasus yang kerap terjadi, pemrotes justru mendapat kecaman keras dari pihak masjid. Tentu saja ini problem sosialisasi dan edukasi yang tidak sampai ke para pengelola masjid dan mushola di seluruh Indonesia.


Namun, seiring dengan problem yang terus muncul, warisan luhur bangsa Nusantara ialah tidak lepas dari tradisi musyawarah dengan penuh kekeluargaan. Apapun hukum yang tersemat di atas kertas, hukum adat lebih mengikat. Sehingga mengadatkan atau mentradisikan musyawarah dengan penuh kekeluargaan harus menjadi fondasi kokoh untuk menyelesaikan setiap persoalan di tengah masyarakat, terutama terkait pengeras suara di masjid, mushola, dan tempat-tempat ibadah lain.


Protes secara langsung memang rawan memicu konflik. Berbeda ketika seseorang menyampaikannya lewat lembaga-lembaga terkait (KUA, Ormas Islam, DMI, MUI) sehingga termediasi, tidak liar. Sudah saatnya kini para pegiat rumah ibadah saling bertenggang rasa (tepo seliro) dengan umat agama lainnya di tanah air yang super majemuk ini.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online dan Pengajar di Unusia Jakarta