Parlemen

Anggota Komisi II Tegaskan Pilpres Dilaksanakan Setelah Pileg

Jumat, 29 Januari 2021 | 07:45 WIB

Anggota Komisi II Tegaskan Pilpres Dilaksanakan Setelah Pileg

Anggota Komisi II DPR RI, Yanuar Prihatin. (Foto: dok. FPKB)

Jakarta, NU Online

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Yanuar Prihatin menyampaikan bahwa ambang batas presiden 2024 harus ditentukan dari suara Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, bukan 2019.


Dengan begitu, pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 harus dilakukan setelah Pileg 2024, tidak dilaksanakan berbarengan. Hal ini mengingat perlu diketahuinya terlebih dahulu suara yang diperoleh partai yang hendak mengusung.


"Jika presidential threshold masih digunakan pada pemilu 2024, maka pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) seyogyanya dilakukan setelah pemilu legislatif (pileg) usai, dan setiap partai sudah mengetahui perolehan suara dan kursi di DPR yang ditetapkan KPU," ujar Yanuar pada Kamis (28/1).


Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) itu beralasan, hasil pemilu 2019 sudah usang. Itu tidak bisa dijadikan dasar untuk memastikan bahwa hasil pemilu legislatif 2024 akan sama persis dengan pemilu 2019. Menurutnya, bisa saja terjadi hal tidak terduga.


Jika hasil pemilu 2019 dijadikan dasar untuk ambang batas presiden, Yanuar mempertanyakan perihal jika partai pengusung anjlok kursinya di DPR dalam pemilu 2024, sementara calon presiden/wakil presiden yang diusungnya terpilih sebagai pemenang.


"Tentu ini akan mengganggu sistem presidensial yang dianut karena dukungan presiden di parlemen menjadi terbatas," ujar legislator Daerah Pemilihan Jawa Barat X itu.


Yanuar menegaskan bahwa perlakuan yang adil harus diberikan kepada semua partai politik yang menjadi peserta pemilu legislatif. Jika ambang batas presiden bersumber pada hasil pemilu legislatif 2024, maka semua partai politik mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden.


"Mereka harus berjuang keras memperoleh kursi sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif jika hendak menjadi pengusung kandidat presiden/wakil presiden," ujarnya.


Sebaliknya, jika ambang batas presiden bersumber pada pemilu 2019, menurutnya, kesempatan mengajukan calon presiden/wakil presiden hanya dimiliki oleh partai besar.


"Apalagi partai politik baru, otomatis tak berpeluang memiliki kandidat presiden. Padahal tidak ada jaminan partai besar ini akan memperoleh kursi yang banyak pula pada pemilu 2024," katanya.


Pola yang sama juga, lanjutnya, semestinya berlaku pula untuk pelaksanaan pilkada. Calon gubernur, bupati, ataupun walikota diajukan oleh partai politik yang memenuhi syarat berdasar hasil pemilu legislatif paling terbaru. Pilkada dilaksanakan setelah pemilu legislatif usai, dan hasilnya sudah ditetapkan KPU.


Oleh karena itu, anggota parlemen kelahiran Cirebon 50 tahun lalu itu menyatakan bahwa RUU Pemilu yang tengah dibahas di DPR saat ini perlu didesain ulang pola keserentakan pemilu yang akan dipilih. 


Pemilu legislatif seyogyanya tidak dicampur dengan pemilu eksekutif secara bersamaan. "Pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota berjalan serentak lebih awal. Baru kemudian disusul pilpres dan pilkada," katanya.


Khusus untuk Pilkada, desain keserentakannya harus diharmonisasi ulang dengan jadwal Pilkada yang sudah ada agar problem-problem teknis dan kekosongan jabatan kepala daerah bisa diatasi dengan tepat. 


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad