Riset BLAJ

Hutan Larangan Cikondang dan Nilai Pentingnya bagi Masyarakat

Kamis, 23 Desember 2021 | 02:15 WIB

Hutan Larangan Cikondang dan Nilai Pentingnya bagi Masyarakat

Hutan larangan Kampung Adat Cikondang Desa Lamajang, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. (Foto: eleksekeng.net)

Masyarakat Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat memercayai adanya hutang larangan, yang memiliki nilai penting bagi kehidupan masyarakat Cikondang.

 

Hal itu terungkap dalam laporan penelitian oleh para peneliti dari Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ). Peneliti menyebutan hutan larangan tersebut konin sering digunakan sebagai tempat pertemuan para waliyullah baik untuk melakukan pengajian, diskusi, dan kegiatan lainnya. Oleh ketua adat hutan larangan dianggap sebagai penghormatan bahwa tempat tersebut memiliki sejarah yang sangat mendalam.

 

Peneliti membeberkan, isi hutan larangan hanya boleh diambil untuk kepentingan Bumi Adat, misalnya dalam penggunaan kayu dipakai saat kayu tersebut benar-benar tidak bisa dipertahankan lagi pertumbuhannya karena sudah terlalu lama umurnya, dan secara kebetulan rumah adat memerlukan bahan untuk dilakukan rehab.


Di dalam hutan larangan terdapat makam yang dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari bambu yang pakunya terbuat dari tali bambu. Makam tersebut adalah makam para juru kunci terdahulu, diantaranya makam Mak Empuh, Mak Akung, Mak Idil, dan Anom Rumya.

 

Untuk masuk ke hutan larangan diberi pintu supaya tidak sembarang orang masuk, tidak boleh mengambil gambar tanpa seizin kuncen dan waktunya untuk masuk hutan larangan dibatasi pada waktu tertentu yaitu Ahad, Senin, Rabu, dan Kamis.

 

Beberapa larangan dan pantangan yang diberlakukan untuk memasuki hutan larangan, sebenarnya mempunyai pesan yang mendalam yaitu: betapa pentingnya manusia  dan masyakarat Cikondang untuk melestarikan alam. Posisi  jarak antara hutan dengan permukiman penduduk  yang berdekatan, jika dibiarkan begitu saja akan dimasuki siapa saja baik untuk sekadar mencari kayu bakar, memotong kayu baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, sehingga kondisi hutan akan rusak oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

 

Jika hutan tersebut  terkena ulah tangan manusia maka akan menjadi rusak, dan jika telah rusak tidak menutup kemungkinan  akan terjadi petaka atau musibah seperti terjadi penggundulan hutan, longsor, dan banjir. Oleh karena itu pantangan dan larangan terhadap hutan di Cikondang menjadi pengikat bagi kelestarian hutan yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kampung Cikondang. Menurut Anom Juhana, narasumber penelitian, larangan hutan ini sebenarnya menjadi contoh bagi manusia terhadap keberadaan alam, supaya lestari, asri dan menjauhkan musibah dari longsor dan penggundulan hutan.  

 

Salah satu informan penelitian mengatakan hutan larangan itu adalah semacam contoh bahwa jangan sembarang orang bisa menebang pohon, yang pada akhirnya yang terkena akibatnya adalah orang-orang kota (seperti kena banjir. Dengan adanya hutan yang dilindungi itu agar tidak sembarang orang menebang pohon secara tidak tanggung jawab.
 

"Dari hutan tersebut terjaga kelestarian hutan sehingga menjadi penyangga baik sebagai sumber mata air untuk mencukupi kebutuhan hajat hidup masyarakat Cikondang, maupun  sebagai cagar budaya tetap terjaga dan asri. Segala pepohonan yang ada di hutan larangan tidak boleh diambil untuk terjaga keasrian dan ekosistem alam hutan, sehingga tidak rusak," tulis peneliti dalam laporannya.

 

Selain itu, peneliti juga mengungkapkan adanya sawah adat sebagai lambang kelangsungan hajat hidup masyarakat sekitar rumah adat. Untuk menjaga dan melestarikan supaya sawah tetap terjaga, tetap mendapat hasil yang baik, selalu memberikan tatakrama terhadap pembiasaan pengelolaan sawah dengan memulai menanam dan panen dengan meminta izin kepada yang pemberi yakni Alloh SWT, supaya hasilnya diperoleh lebih banyak dan lebih baik.

 

Masyarakat adat Cikondang juga dalam melestarikan kehidupan bermasyarakat memiliki ikatan kekeluargaan melalui daur hidup mulai dari melahirkan/marhabanan/cukuran, sunatan, perkawinan, kehamilan, dan kematian. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan gotong royong dan kebersamaan, dari apa yang dipunyai untuk membantu satu sama lain dari setiap warganya yang akan melakukannya.

 

Meneurut peneliti, dalam proses melahirkan, sunatan, atau memiliki cacarekanan, tidak jarang mengundang kesenian beluk. Beluk tersebut dilantunkan oleh empat hingga tujuh orang dengan suara melengking, dengan membacakan Wawacan Barzah. Konten Wawacan Barzah diambil dari pupuh Sinom, Dandanggula, dan Asmarandana. Tujuan pembacaan Wawacan Barzah adalah memberikan pelajaran pendidikan kepada yang mendengarkannya.
 

Rekomendasi

Setelah melakukan penelitian masyarakat adat Cikondang, peneliti memberikan rekomendasi agar tetap melestarikan adat budaya pada masyarakat Cikondang, perlu dilakukan pemberian pembinaan sekaligus pendampingan kepada ketua adat dalam pembiasaan masyarakat menurut ajaran Islam yang benar. Hal ini untuk memberikan keyakinan terhadap sebagian masyarakat yang tidak sejalan dengan yang diajarkan ketua adat.


Peneliti juga merekomendasikan adanya lembaga pesantren di Desa Lamajang untuk mengkaji pengetahuan agama dalam menangkis adanya paham keagamaan (yang menyimpang) yang mungkin berkembang di Desa Lamajang

 

Peneliti mendorong adanya dukungan secara materil terhadap pengembangan lembaga pendidikan formal yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat Desa Lamajang terutama pada wilayah yang posisi kampungnya jauh dari pusat ibu kota desa (Lamajang). Hal ini untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan ketenangan bagi siswa untuk belajar di lingkungan rumahnya.

 

Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori