Tokoh

Meneladani Kesederhanaan Gus Dur Saat Jadi Presiden 

Sabtu, 13 Juli 2024 | 22:00 WIB

Meneladani Kesederhanaan Gus Dur Saat Jadi Presiden 

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati. Kesederhanaan ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama, tokoh masyarakat, maupun saat menjabat sebagai Presiden ke-4 Indonesia. 


Sebagai sosok yang punya ‘darah biru’ dan privilege sebetulnya sangat mudah baginya untuk berlaku arogan dan hedon. Malah sebaliknya, berada di keluarga para ulama dan tokoh besar, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Bisri Sansuri, justru membuatnya semakin tawadu’ dan bersikap sederhana. Pendidikan dari keluarganya dan pesantren begitu pun dunia perkuliahannya mengajarkannya untuk selalu terbuka kepada siapa saja.


Ketika menjabat sebagai Presiden ke-4 RI, ada banyak kisah teladan yang terus bersambung, diabadikan lewat lisan dan tulisan, mengenai kesederhanaan dan kebijaksanaannya. Penulis mencoba merangkum kisah-kisah tersebut di bawah ini.


Satu hal yang masih tidak pernah luput dari ingatan, terjadi pada saat pelengseran dirinya dari kursi presiden. Saat itu, ia hanya keluar dengan celana pendek menyapa para rakyatnya. Celana itu yang biasa dipakai untuk bermalam atau ketika tidak menjabat sebagai presiden. Itulah bentuk kesederhanaan yang ditampilkannya.


Saat itu, banyak orang yang mencibir apa yang dilakukan. Mereka beralasan bahwa tindakan itu tidak pantas ditampilkan seorang presiden. Bagi Gus Dur, itu tidak berlaku. Ia ingin menunjukkan dengan pakaiannya semacam itu kepada publik agar semuanya sadar bahwa presiden sama seperti manusia atau rakyat biasa, tidak ada bedanya.


Sisi lain yang tidak bisa lepas darinya ialah terbuka pada siapa saja. Tidak memandang siapa orangnya dan apapun statusnya, Gus Dur akan tetap setia melayaninya. Ia pernah membuat keputusan agar Istana Negara dapat terbuka untuk umum. Siapapun boleh menginjakkan kaki, baik itu yang bersandal jepit, tak beralaskan kaki, sampai yang mengendarai bajaj pun dipersilakan mencicipi ‘kemegahan’ Istana Negara tersebut.


Ketika hadir dalam sebuah acara KBGD (Komunitas Kongkow Bareng Gus Dur) yang bisa disiarkan di radio KBR 68 H, Gus Dur tidak canggung makan gorengan, seperti bakwan, tahu, tempe dan lainnya. Ia tidak pernah membeda-bedakan makanan. Apa yang ada di hadapannya itu yang dimakannya. (Agus Nur Cahyo, Samudra Kearifan, [Kaktus: Yogyakarta, 2018], halaman 224)


Ada ungkapan cukup terkenal yang pernah dilontarkannya, “gitu aja kok repot”, menjadi suatu isyarat dari Gus Dur bahwa tiap persoalan yang dihadapi pasti dapat tangani dan ada jalan keluarnya. Namun, bukan berarti menggampangkan tiap permasalahan yang ada. (Subagyo, Bahasa dan Kepemimpinan: Menggali Inspirasi Discursive Leadership Soegijapranata dan Abdurrahman Wahid, [Universitas Sanata Dharma, 2012], halaman. 50-51).


Musa dalam bukunya, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, mengatakan jika pernyataan fenomenal itu diucapkan Gus Dur sebagai bentuk keprihatinannya terhadap urusan birokrasi yang sejatinya mudah tapi malah dipersulit. Akhirnya, sewaktu menjabat sebagai presiden, ia pun membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang dinilai tidak begitu berfungsi pada masa Orde Baru. Kehadirannya, justru dianggap makin mempersulit situasi yang ada. (Musa A. M, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, [Erlangga, 2010], halaman 23)


Selama menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia waktu itu, ia memilih menanggalkan simbol-simbol penguasa, fasilitas penguasa presiden, kawalan, dan menjaga jarak dengan publikasi di saat menghadiri acara.


Teladan kesederhanaan hidup Gus Dur memang nyata. Mengutip tulisan sebelumnya dari Muhammad Makhdum, ketika menemui seseorang yang dianggap penting, atau saat sowan kepada para kiai, bisa saja Gus Dur sebagai presiden membawa iring-iringan para pengawal, dengan bunyi sirine mobil vooridjer yang memekakkan telinga, disambut dengan upacara resmi layaknya pejabat negara. Tapi Gus Dur malah tidak menyukai protokoler seperti itu.


Bahkan, saat sowan ke ulama kharismatik Mbah Abdullah Salam Kajen, Gus Dur malah datang hanya ditemani beberapa orang, dan bahkan nyelonong lewat pintu belakang pesantren, menyibak di antara pakaian yang tergantung di kawat jemuran para santri.


Gus Dur juga sosok yang anti nepotisme. Kedudukannya sebagai presiden tidak lantas dengan mudah menaikkan keluarga, kerabat, dan teman dekatnya ke panggung kursi jabatan. Tidak pernah ia memintakan jatah saham untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Anak dan menantu justru tidak diberi penghidupan bahkan bisa disebut ‘tidak terurus’.


Apa yang dilakukan oleh mendiang Gus Dur hendaknya menjadi refleksi kita bersama, terutama bagi para pejabat publik. Pribadi sederhana, menghindari diri dari kemewahan, terbuka bagi siapa saja, dan jauh dari sikap ambisius serta tidak haus jabatan, sangat penting dimiliki bagi para penguasa. Gus Dur tidak hanya dihormati karena kedudukannya, tetapi juga karena integritas dan kesederhanaannya yang nyata dalam setiap tindakannya.


Menjauhkan diri dari hidup glamor, berfoya-foya, flexing sangat tidak cocok dilakukan, apalagi bagi pejabat publik. Miris jika seorang penguasa hidup dalam kemewahan dan kemegahan di saat yang sama rakyat yang dipimpinnya sedang dalam kemelaratan, kemiskinan, dan kelaparan. Hari ini, apa yang dipraktikkan Gus Dur, berupa kesederhanaan semasa hidupnya, menjadi amat penting untuk diteladani dan diterapkan juga oleh siapa saja.


Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam, Depok, Jawa Barat