Tokoh

Hasan Gipo: Sudagar-Aktivis, Ketua Tanfidziyah NU Pertama (2-habis)

Rabu, 3 Juli 2013 | 02:31 WIB

Pertemuan antara Hasan Gipo dengan Kiai Wahab serta kiai lainnya makin intensif. Ia kemudian terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914), walaupun tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916).

 

Karena itu pengetahuannya sangat teruji, dan kemapuan berargumentasinya sangat memukau. Selain itu ia juga telah aktif terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya. Dalam forum semacam itu ia berkenalan dengan ulama lainnya makin intensif seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai besar lainnya di Jawa  yang telah lama menjadin pershabatan dengan keluarga Ampel itu.

 

Bahkan ketika para ulama membentuk Komite Hejaz dan akan mengirimkan utusan ke Makah, sumbangan Hasan Gipo juga sangat besar, karena dialah yang mempelopori penghimpunan dana dan ia sendiri pun menyumbang sangat besar. Atas prestasinya yang banyak memberikan sumbangan, dan memiliki kecakapan teknis dalam menangani administrasi organisasi serta penggalangan dana masyarakat.

 

Karena itu ketika Nahdlatul Ulama berdiri, dalam sebuah pertemuan terbatas yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan Bubutan Surabaya itu ia langsung ditunjuk sebagai Hoftbestoor (Pengurus Besar) NU sebagai Ketua Tanfidziyah  dan usul itu langsung disetujui oleh Kiai Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah sangat mengenal Hasan Gipo serta latar belakang keluarganya.

 

Walau sebagai pengurus NU bisnisnya tetap berkembang, bahkan kemudian juga dikembangkan ke sektor properti, ia banyak memiliki perumahan, pertokoan dan pergudangan yang ini kemudian disewakan, saat itu kebutuhan terhadap sarana bisnis tinggi, karena itu tingkat hunian propertinya juga tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh dari sini juga tinggi, sehingga ia bisa menyumbang banyak ke NU, baik ketika Muktamar maupun untuk sosialisasi dan pengembangan NU ke daerah-daerah lain, sehingga bisa dilihat NU berkembang sangat cepat dari Surabaya, pada tahun kedua telah menyebar di Jawa Tengah, bahkan pada tahun kelima telah menyebar ke Jawa Barat, bahkan ke Kalimantan dan Singapura.

 

Seperti dilukiskan Saifuddin Zuhri, yang menggabarkan Hasan Gipo sebagai sosok yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga gagah secara fisik, karena itu ketika terjadi perdebatan tentang masalah teologi antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Muso yang ateis itu bisa mengganti kedudukan Kiai Wahab yang bosan menghadapi Muso yang hanya bisa debat kusir tanpa nalar dan tanpa hujjah yang benar. Maka dengan gagah berani ia  melakukan  debat dengan Muso tokoh PKI yang dikenal sebagai Singa podium itu ditaklukkan. Setiap argeumennya bisa dipatahkan, sehingga alumni Moskwo dan anak didik Lenin itu keteteran. Tidak hanya itu Arek Suroboyo ini juga berani menantang Muso berkelahi secara fisik. Anehnya Muso yang biasanya brangasan itu tidak berani menghadapi tantangan Hasan Gipo.

 

Selain menguasai ilmu agama, setiap orang pesantren selalu menguasai ilmu kanuragan, sebab ini bagian dari tradisi pesantren, dan tampaknya Hasan Gipo juga memiliki ilmu ini, itu yang membuat Muso ngeri menghadapi. Hasan Gipo. Jabatan ketua Tanfidziyah itu dipegang Hasan Gipo selama dua masa jabatan, baru pada Muktamar NU Ketiga 1929 di Semarang ia digantikan oleh KH. Noor sebagai ketua Tanfidziyah yang baru juga berasal dari Surabaya. Selanjutnya pada Muktamar NU ke 12 tahun 1937 di Malang kemudian KH Noor digantikan oleh KH Mahfud Shiddiq, kakak kandung KH Ahmad Shiddiq. 

 

Pada periode awal ini, NU memang banyak diikuti oleh para pengusaha, selain Hasan Gipo ada beberapa pengusaha besar yang masuk ke NU yaitu Haji Burhan Gresik. Ia memiliki pabrik kulit dan persewaan rumah dan gudang. Kemudian adalagi pengusaha besar Haji Abdul Kahar Kawatan Surabaya, yang menguasai perdagangan pertanian di Jawa Timur. Kemudian ada H. Jassin, seorang pemilik pabrik garmen yang khusus diekspor ke India dan Pakistan. Mereka semuanya pernah aktif terlibat aktif dalam Nahdlatut Tujjar, maka ketika NU berdiri secara otomatis mereka bergabung ke NU. Dengan demikian NU bisa berdiri mandiri tanpa bantuan dari kolonial, sehingga bebas menentukan gerak organisasinya dan mengatur pendidikan pesantren yang diselenggarakannya.

 

Pada periode awal ini selain menggiatkan bidang pendidikan, maka NU sangat peduli dengan usaha pengembangan ekonomi dengan membentuk berbagai syirkah. Usaha impor sepeda dari Eropa dirintis sejak tahun 1935, karena untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dan tentunya sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi warga NU dalam mengembangkan jamiyah.

 

Selain itu juga dibentuk badan pengimpor gerabah dan barang kebutuhan lainnya dari Jepang. Usaha itu terus dikembangkan, kemudian NU juga mulai masuk lebih serius dalam bidang industri percetakan dan lain sebaginya. Atas inisiatif para kiai dan para tujjar yang ada dalam tubuh NU itu pergerakan NU semakin gencar, sehingga dalam waku singkat menjadi organisasi besar.

 

Selain bisnis yang bersifat kolektif para pengurus NU sejak dari Kiai Hasyim Asy’ari, termasuk Kiai Wahab Hasbullah. Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Bisri, Kiai Muslih Purwokerto, semuanya mempunyai usaha sendiri-sendiri. Usaha itu dibangun selain untuk memenuhi ekonomi keluarga yang terpenting bisa menjadi kemandirian agar tidak minta bantuan pada pemerintah kolonial Belanda. Jajaran pimpinan NU terdiri dari orang-orang independen, tidak ada yang menggantungkan ekonominya pada birokrasi kolonial.

 

Karena itu sejak masa kemerdekaan kemandirian kiai dan NU tetap terjaga, karena memiliki kemandirian secara ekonomi. Pembangunan ekonomi di sini ditempatkan sebagai strategi politik untuk menjaga kemandirian dan kebebasan warga dari ketergantungan dan tekanan dari penjajah. 

 

Setelah tidak lagi menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU, Hasan Gipo kembali mengembangkan bisnisnya, hingga semakin besar. Sebagian hasil keuntungannya tetap disumbangkan pada NU dan pesantren. Sebab pada masa rintisan NU membutuhkan banyak dana, apalagi saat itu Muktamar dilaksanakan setiap tahun, maka sudah pasti Hasan Gipo tergerak untuk membantu pendanan Muktamar NU setiap kali diselenggarakan, baik di Surabaya maupun di luar Jawa.

 

Aktivitas Hasan Gipo terus dilanjutkan hingga menjelang wafatnya  pada tahun 1934, kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin. Ia mempunyai tiga orang anak, yang kemudian melanjutkan usaha bisnisnya dan sekaligus sebagai penerus dinasti Gipo yang masih terus aktif hingga saat ini.

 

Abdul Munim DZ

(Disadur dari beberapa sumber dan hasil wawancara dengan H. Musa Jassin, salah seorang anggota Bani Gipo, yang tinggal di Kawatan Surabaya)