Warta

Diskusi IPNU, Impor Beras Tidak Rasional

Jumat, 17 Februari 2006 | 12:46 WIB

Jakarta, NU Online
Kebijakan pemerintah melakukan impor beras rupanya masih menjadi perdebatan, meski hak angket dan interpelasi oleh DPR-RI tidak berhasil disepakati. Buktinya, Jumat (17/2) siang Pengurus Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mengadakan diskusi yang bertajuk “Di Balik Kontroversi Pertarungan Beras Impor vs Beras Petani.”

Hadir sebagai pembicara pada diskusi yang digelar di Gedung PBNU lantai 5, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat itu, Anggota DPR-RI dari F-PDIP Arya Bima dan Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan-Departemen Pertanian RI, Tjuk Heri Eko.

<>

Arya Bima dalam paparannya menyatakan bahwa impor beras yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang tidak rasional. “Sangat tidak rasional pemerintah mengimpor beras dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang kurang,” tegasnya. Saat ini, lanjut Arya, banyak daerah-daerah, terutama daerah yang terkenal penghasil beras, sedang mengalami surplus.

Kebijakan yang tidak populis tersebut, menurut Arya hanya memenuhi kepentingan ekonomis sejumlah elit tertentu. “Impor beras itu hanya untuk memenuhi kebutuhan para pemburu rente, bukan benar-benar demi kepentingan rakyat kecil,” terangnya.

Demikian juga dengan kisah tragis dengan gagalnya upaya parlemen untuk melakukan hak angket dan interpelasi kepada pemerintah. Menurut Arya, hal itu bisa dimaklumi, karena tidak sedikit dari para wakil rakyat tersebut berprofesi rangkap sebagai pemburu rente, sebagaimana ia sebut sebelumnya.

“Tidak sedikit dari anggota dewan yang punya jaringan dengan para pengusaha beras, bahkan juga dengan importir beras luar negeri. Kalau hak angket itu lolos berarti kan usahanya juga terancam,” terang Arya bersemangat.

Salah satu yang juga menjadi sasaran kritik Arya adalah Badan Urusan Logistik (Bulog), sebuah lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal perberasan nasional. Menurutnya, sejak didirikannya 32 tahun silam, hingga saat ini, lembaga tersebut tidak pernah memberikan keuntungan kepada petani. Hal itu dikarenakan lembaga tersebut tidak pernah membeli secara langsung beras petani.

“Bulog tidak secara langsung membeli beras kepada petani. Ia selalu membeli beras lewat pedagang. Yang terjadi kemudian, selama 32 tahun (pemerintahan Soeharto, Red) dan sampai sekarang, lembaga ini tidak pernah menguntungkan petani,” tegas Arya. (rif)