Warta SILATURRAHIM PIMPINAN MAJELIS TA'LIM

Hati-hati! Faham Baru Bermunculan

Rabu, 29 November 2006 | 05:29 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH. Nuril Huda mengimbau para pemimpin majelis ta’lim dan para khotib untuk mewaspadai munculnya berbagai faham baru yang mengganggu keberagamaan masyarakat. Faham baru ini disebarkan melalui masjid-masjid, majelis pengajian, dan lembaga pendidikan.

“Mereka tidak membuat masjid lagi tapi ingin memanfaatkan yang sudah ada. Mereka sangat militan, kalau perlu pertama-tama menjadi tukang sapu dulu,” kata Kiai Nuril saat membuka acara Silaturrahim Pimpinan Majelis Ta’lim dan Khotib se-Jabodetabek di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (29/11).

<>

Acara silaturrahim itu bertujuan untuk merapatkan barisan sembari terus memperdalam pengetahuan keagamaan. Hadir sebagai pembicara KH. Muslikh Nasukha, Sekretaris Komisi Dakwah Maselis Ulama Indonesia (MUI) dan Hj. Faizah Sibromalisi, dosen Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta.

“Kalau wawasan dan ilmu kita terus bertambah, kita tidak akan mudah digoyang dan terus bersemangat untuk mendampingi umat. Kita perlu waspada dan hati hati, kalau tidak kita akan terjebak mengatakah ‘ah waong sama Islamnya aja koq!’ Dan perlu diingat, mereka itu dapat sokongan dana dari luar negeri. Kita ini telah dikepung,” kata Kiai Nuril.

KH. Muslikh Nasukha saat memberikan pengarahan menyampaikan, para pimpinan majelis ta’lim dan khotib perlu bersabar mendampingi jama’ahnya masing-masing, terutama yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

“Kalau tidak kita perhatikan akan lepas. Mereka punya dana. Tidak hanya yang bersangkutan yang akan mendapatkan fasilitas hidup tetapi juga keluarganya,” kata Muslih sambil menunjukkan contoh kaos bertuliskan lafadz bahasa Arab yang dibagikan gratis di daerah Aceh, Nias, Papua dan Jakarta.

Hj. Faizah Sibromalisi menyampaikan pengalaman yang berbeda saat mengajar di UIN Jakarta. Kali ini, serangan pemikiran baru itu berasal dari buku atau para dosen yang berfikiran “liberal” dalam memahami Islam.

“Tafsir-tafsir klasik yang diajarkan di pesantren-pesantren dikatakan tidak manusiawi. Orang-orang seperti ini pasti tidak pernah baca tafsir. Kalau dia baca tafsir pasti mengerti bahwa ada berbagai corak penafsiran dan bahwa tafsir itu bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat.” kata Faizah.

Dikatakan Faizah, kalangan ini sekedar mengambil teori-teori Barat dan enggan bersentuhan dengan tafsir itu sendiri. Mereka ingin mengganti tafsir-itu dengan teori-teori yang diadopsi dari Barat. “Pertama-tama kalangan ini ingin mempertanyakan kembali keaslian Al-Qur’an dan kenabian Nabi Muhammmad SAW,” katanya. (nam)