Warta Pelatihan DHEM di Universitas Leeds (5)

Ke Gereja Westminster & St. Ethelburg's

Rabu, 10 Mei 2006 | 08:33 WIB

Kesempatan berkunjung ke Inggris selama 1 bulan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh 12 kader NU. Mereka mengikuti Pelatihan Deputy Headmaster Education Management (DHEM) di Universitas Leeds, Inggris. Ke-12 kader NU itu antara lain, Evi Norati Jeja, Adrian, Iis Mazhuri, Edi Rahmat Widodo, R Chusnu Yuli Setyo, Moch Machrus Abdullah, Salman Al Farisi, Titik Suryani, Aminah Al Jufri, H Muh Said, Fitriyani Wahab dan Eridian Patrio Putro. Apa saja yang dilakukan mereka selama berada di negeri Ratu Elizabeth itu?

Hari kesepuluh sejak tiba di kota Leeds, 8 April lalu, rombongan kader NU berkesempatan mengunjungi Westminster Cathedral, sebuah gereja Katolik yang berumur ratusan tahun.

<>

Sayang, rombongan harus kecewa, karena sampai di sana gereja sudah kosong, demikian juga dengan para pendetanya, sudah tidak ada. Tapi rombongan tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka gunakan waktu sebentar untuk melihat-lihat arsitektur gereja itu. Banyak mozaik indah terpasang di langit-langit kubah gereja.

“Indah sekali. Kami tidak bisa membayangkan butuh berapa lama menempelkan manik-manik seperti itu sehingga jadi hiasan dan lukisan yang indah,“ kata Edi Widodo, salah satu peserta DHEM kagum.

Tak lama kemudian, rombongan meninggalkan gereja tersebut untuk melanjutkan perjalanan menuju St. Ethelburg’s Centre for Reconciliation and Peace, sebuah bangunan bekas gereja yang sekarang jadi pusat rekonsiliasi dan perdamaian. Gereja ini dulunya adalah gereja terbesar di pusat kota London. Daerah di mana gereja ini berada terkenal sebagai kawasan bisnis yang sangat mahal. Bisnis perbankan hingga bursa saham ditentukan di kawasan ini.

Sejarahnya, tahun 1993 silam, kawasan ini pernah dibom oleh pejuang Irish Republican Army (IRA). Kerusakan yang terjadi luar biasa, karena kerugiannya mencapai 1 milyar GBP. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah gereja tersebut. Yang tersisa hanyalah dinding sebelah kiri gereja dan itu sampai sekarang masih diabadikan pada saat rekonstruksi tahun 2001. Pada tanggal 26 November 2002, diadakan grand opening tetapi fungsi gereja telah berubah menjadi pusat rekonsiliasi dan perdamaian.

Simon Keyes, pemimpin dari lembaga tersebut yang menyambut rombongan menjelaskan bahwa iman bisa menjadi sumber perdamaian, tetapi juga sekaligus bisa menjadi sumber konflik.

“Tidak hanya Katolik, Islam pun dan juga semua paham di dunia bisa menjadi sumber konflik. Seperti kaum fundamentalis Amerika yang meskipun tidak membunuh manusia secara langsung, tetapi ide-idenya telah mengakibatkan tragedi keamanusiaan, seperti perang di Irak, Afganistan dan lain-lain,“ terang Keyes.

Di tempat tersebut, lanjut Keyes, semua pemeluk agama boleh datang dan berdialog. Semua duduk sejajar, tidak ada yang paling tinggi atau paling menonjol. Semua boleh berbicara untuk berdialog mencari kesamaan-kesamaan yang bisa diambil sebagai nilai bersama untuk dijadikan ikatan perdamaian. “Tidak ada politik, tetapi bila politik menjadi persoalan yang mengakibatkan konflik agama, maka bisa dibahas di sini,“ jelasnya.

Ada yang menarik dari salah satu program yang saat ini sedang dikembangkan Keyes. Ia membuat tenda bundar ala kemah orang Arab di padang pasir. Tenda ini memuat 20 orang. Di dalamnya ada hiasan ornamen yang menggambarkan mata rantai kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Ada symbol-simbol agama Kristen, Yahudi dan Islam di tenda itu.

Dari program itu, Keyes berharap, jika ada keinginan untuk berdialog, tidak ada kesan sungkan, tidak enak atau ragu-ragu. Selama ini, jika berdialog di dalam bekas gereja itu ada perasaan tidak nyaman bagi yang beragama lain. Jadi, di kemah yang baru itu semua pemeluk agama boleh datang dan mengundang sekaligus menjadi pembicara tanpa harus dirinya.

Keyes mengaku terkesan setelah bertukar pengalaman dengan rombongan tentang kondisi keberagamaan di Indonesia, terutama tentang kalangan minoritas. Diceritakan, di Indonesia juga banyak konflik-konflik agama, namun semua diselesaikan dengan cara dialog untuk sebuah upaya rekonsiliasi dan perdamaian.

Seperti halnya di Indonesia, di Inggris, kata Keyes, banyak juga lembaga agama yang terlibat dalam upaya perdamaian. Salah satu hasilnya adalah perubahan pandangan orang Inggris atas peristiwa bom yang meledak di kota London tahun 2003 silam. “Itu sama sekali bukan masalah agama, tetapi lebih masalah politik. Inggris punya sejarah panjang dengan teror bom. Semua itu disebabkan oleh politik, bukan agama,” tegasnya. (Moh. Arief Hidayat, bersambung)

Berita ini ditulis berdasarkan laporan Edi Rahmat Widodo, salah satu peserta pelatihan Deputy Headmaster Education Management (DHEM).