Warta

Masih Banyak Kiai yang Tak Suka Politik

Kamis, 14 Juni 2007 | 09:40 WIB

Jakarta, NU Online
Meskipun belakangan ini, tepatnya semenjak reformasi, banyak kiai yang terjun dalam dunia politik praktis, namun dari pengamatan Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri, ternyata masih banyak kiai yang tak berpolitik dan mengurusi dzikir, majelis taklim dan sebagainya.

“Banyak masyarakat yang suka politik, tapi banyak juga yang tidak suka. Mereka yang tidak suka politik merasa tidak dikancani kiai. Lalu muncul kiai yang menyatakan jangan khawatir kamu tidak suka politik, masih ada kiai yang masih mengurusi dzikir dan sebagainya,” tuturnya dalam perbincangan dengan NU Online beberapa waktu lalu di kantor Komunitas MataAir.

<>

Pengasuh Ponpes Roudhatut Thalibien ini menjelaskan bahwa ia telah penggelar pertemuan dengan para kiai di berbagai daerah. Para ulama ini merasa resah melihat banyaknya kiai yang berpolitik. Namun akhirnya dalam pertemuan ini mereka lego ternyata banyak kiai yang tak mengurusi politik.

Dijelaskan oleh Gus Mus bahwa pertemuan ini sekaligus untuk menyerap pemikiran dari bawah sebagaimana yang diminta oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz.

“Urusan kekiaian ini kan hanya membantu dengan pemikiran, menyampaikan aspirasi masyarakat. Fikiran kiai-kiai di bawah ini kita titipkan ke syuriyah,. Selanjutnya PBNU yang menindaklanjuti untuk kerja nyatanya. Mereka ini orang NU semua, tidak ada orang luar,” imbuhnya.

Kiai yang juga Penyair ini menjelaskan ada tiga kategori tindakan politik yang dilakukan oleh para kiai, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Politik kebangsaan ini seperti yang dilakukan oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ketika mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah, ini politik untuk Indonesia, politik kebangsaan. Demikian pula mengangkat Bung Karno sebagai wali ad dhoruri bis syaukah.

Sementara itu, politik kerakyatan merupakan pembelaan para kiai yang dilakukan terharap rakyat. Ini yang paling rajin dilakukan oleh para kiai. “Ketika rakyat berhadapan dengan penguasa atau dengan pengusaha, maka rakyat larinya ke kiai. Mereka yang mbelani,” tandasnya.

Berkaitan dengan politik kekuasaan, Gus Mus berpendapat politik yang ini sebetulnya banyak menguras energi dan tak karuan juntrungnya. Menurutnya dalam politik kekuasaan, harus ada perencanaan yang matang bagaimana nanti kalau berkuasa, bukan hanya memikirkan politik tapi tanpa melakukan perencanaan yang matang, kalau sudah berkuasa mau apa.
“Jangan-jangan kalau kita sudah kuasa seperti zaman Gus Dur. Sendirian Gus Dur karena yang siap berkuasa cuma Gus Dur. Mestinya semuanya harus siap kalau memang mau berpolitik kekuasaan,” paparnya.

Gus Mus juga merasa prihatin dengan banyaknya partai politik yang mengatasnamakan warga NU. Banyaknya partai membuat suara yang diperoleh semakin kecil karena pasar yang diambil sama sehingga posisinya semakin tidak berarti.

“Kalau berfikir bikin partai biar kecil asal baik, tidak ada itu, ini majelis taklim. Kalau partai politik ya harus besar wong partai-partai besar saja berkoalisi kok. Dulu zaman orde baru, PDI dan PPP tidak ada artinya sama sekali, karena apa, karena kecil.  Orang-orang kita itu, kalau bicara soal partai, soal politik, itu jangkauannya hanya sebatas menjadi anggota legislatif, tak lebih, itu ngapain, ya cari kerja saja,” tuturnya.

Secara organisatoris, Gus Mus sepakat bahwa NU tidak boleh berpolitik praktis, namun politk kebangsaan dan politik kerakyatan harus terus dilakukan. Tugas NU adalah membela rakyat yang sampai saat ini banyak yang masih mengalami kesulitan hidup.

“Umumnya orang NU itu petani di desa-desa, sekarang petani paling tidak karuan hidupnya, Kalau sekarang harga pupuk mahal, siapa yang menyuarakan aspirasi mereka kalau tidak kiai. Jadi politik kebangsaan dan politik kerakyatan ini yang perlu dijangkau, jadi politik kekuasaan ya biarkan mereka yang memang tahu dan suka, jangan seluruhnya,” tuturnya. (mkf)