Warta Munas dan Konbes NU

Membaca NU dalam Gambar

Jumat, 28 Juli 2006 | 13:46 WIB

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (konbes) Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo Surabaya (27-30 Juli 2006) kali ini dilengkapi dengan pameran foto-foto dan dokumen bersejarah. Dalam gambar organisasi kaum pesantren Nahdlatoel Oelama itu tampak hidup dan menjelaskan dirinya sendiri.

Lokasi pameran dinamai “NU Center”. Dipamerkan foto 14 para perintis NU, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz, KH. Ridlwan Abdullah. Warga Nahdliyyin menyebut mereka assabuqunal awwalun, orang-orang baik yang memulai NU.

<>

Melihat sosok KH. Hasyim Asy’ari adalah melihat kegigihan melawan penjajah. Mbah Hasyim, begitu warga nahdliyyin memanggilnya, adalah sosok kiai pesantren yang gigih berani memimpin perjuangan para petani. Lalu, KH. Wahab Hasbullah adalah kiai yang lincah kesana kemari, menjadi penyambung lidah para kiai, menemani Bumg Karno bersama para negarawan lain melakoni susah payah pembentukan NKRI.

Dipamerkan juga gedung-gedung bersejarah NU seperti rumah di Jl. Bubutan, Surabaya, yang menjadi markas para Nahdlatut Tujjar. Para “aktivis” pesantren membicarakan masalah negeri di sini. Ada juga dokumen pembentukan Nahdlatut Tujjar, perkumpulan para pedagang pribumi, awal abad ke-20, . Dipertontonkan keinginan besar, untuk memenangkan para pedagang pribumi dari akal-akalan para pedagang Cina, Arab, dan tidak diragukan lagi Eropa.

Foto mendiang kantor ANO (Ansor Nahdlatoel Olama) di Jl. Penghela Surabaya menceritakan bagaimana semangat pemuda pesantren dalam “memenangkan” negeri ini. Cak Asay’ry, salah seorang kader Ansor dengan tanpa takut memanjat tiang dan merobek warna biru pada bendera “orang lain”, sehingga  menjadila "merah putih" berkibar-kibar.

Sebelumnya ANO bernama Subbanul Wathan atau Pemuda Tanah Air (1924). Di saat para pemuda Indonesia pada umumnya bersibuk dengan organisasi kedaeraan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Celebes, dan lain-lainnya, para pemuda pesantren ini menyebut diri mereka sebagai “pemuda tanah air” saja.

“Saya yakin kelahiran NU berhubungan erat dengan Sumpah Pemuda 1928, tapi banyak yang tidak mengakuinya. NU yang begitu-itu sering berbuat tapi kurang iklan jadi kelihatan tidak banyak peran,” kata Ketua PBNU KH. Said Aqil Siradj saat meresmikan pameran, Jum’at (28/7) sore.

Sebelumnya, NU berpusat di Surabaya. Usmar Ismail, tukang perfilman Indonesia yang aktivis Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) NU sekaligus perintis NU di wilayah Jakarta memelopori dipindahnya kantor NU ke ibu kota. Ada yang menarik, foto gedung pertama NU di Kramat Raja Jakarta yang sangat sederhana disandingkan dengan foto gedung baru delapan lantai.

Muktamar NU pada awal-awal berdirinya tampil dalam foto hitam-putih, menceritakan suasana masa lalu. Para kiai membentuk lingkaran, berebutan makanan dalam satu nampan. Ada juga foto full color di sebelahnya yang menunjukkan suasana muktamar NU akhir-akhir ini di bawah gedung besar dan sepertinya ber-AC karena tidak tampak pohon di sana.

Banyak yang telah terjadi, begitu pula banyak yang telah berubah dari NU. Dalam gambar NU juga sering berteman dengan Orde Lama, hampir tiap waktu bergulat dengan rezim otoriter Orde Baru, lalu beramai-ramai berkumpul dengan para intelektual muslim seluruh dunia di Acara Internasional Conference of Islamic Schollars (ICIS). Bacalah, ada berita di sana. **(anam)