Warta

Nadirsyah Hosen-Eko Ernada Pimpin PCINU Australia

Rabu, 6 Juni 2007 | 06:09 WIB

Canberra, NU Online
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan New Zealand (ANZ) kini punya pemimpin baru. Nadirsyah Hosen dan Eko Ernada dipercaya oleh anggotanya memimpin PCINU ANZ untuk periode tahun 2007-2009.

Keduanya terpilih dalam Konferensi Cabang yang digelar dengan cara pertemuan jarak jauh melalui sambungan internet (teleconference), di Canberra, Selasa (5/6) pagi waktu setempat. Demikian dilaporkan Kontributor NU Online di Canberra Arif Zamhari.

<>

Nadirsyah Hosen, yang juga Dosen Hukum Islam dan Terorisme Internasional pada Universitas Nasional Australia (ANU), Canberra, terpilih secara aklamasi sebagai Rais Syuriah PCINU ANZ setelah tiga kandidat lainnya mengundurkan diri. Tiga kandidat lainnya, yakni Tony Indranada, Taufik Prabowo dan Arif Zamhari mengundurkan diri karena tak lama lagi akan segera menyelesaikan studinya dan kembali ke Tanah Air.

Sementara, Eko Ernada yang juga Mahasiswa S3 (strata 3) Pusat Islam dan Timur Tengah, ANU, terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah setelah menyisihkan dua kandidat kuat lainnya, yaitu, Farid F Saenong, Mahasiswa S3 di Departement of Anthropology, RSPAS, ANU, dan Akhmad Muzakki, Mahasiswa S3 di Universitas Queensland, Brisbane.

Pemilihan ketua tanfidziyah kali ini dilakukan melalui tim formatur yang rapat-rapatnya dilakukan secara virtual. Dua belas tim formatur yang mewakili seluruh negara bagian di negeri Kanguru itu menjaring beberapa calon yang diusulkan dan kemudian dipilih empat orang terbanyak sebagai kandidat ketua.

Sempat muncul ide menarik saat penjaringan calon ketua tanfidziyah. Seorang anggota tim formatur mencalonkan nama perempuan, yakni Safira Machrusa. Tentu saja usulan itu memancing pro-kontra di antara tim formatur karena menyangkut tradisi di NU yang tidak mengenal perempuan duduk di dalam kepengurusan tanfidziyah maupun syuriah.

Suaidi Asyari, seorang pengurus PCINU ANZ di Melbourne, mendukung digulirkannya wacana kepemimpinan perempuan itu. “Status keistimewaan PCINU ini harus dipertegas. Apakah dengan status itu membolehkan seorang perempuan sebagai ketua tanfidziyah. Kalau tidak ada ketegasan dari PBNU, maka kita akan gamang melakukan perubahan,” ujarnya.

Namun, menurut Nadirsyah Hosen, tampilnya perempuan sebagai ketua tanfidziyah bakal mengalami hambatan. Karena dalam tradisi NU tidak dikenal perempuan dalam kepengurusannya. Baginya, perempuan, di NU, sudah terwadahi dalam lembaga seperti Muslimat NU.

“Bukannya saya tidak setuju dengan ide kepemimpinan perempuan, tapi saya khawatir jika perempuan menjadi ketua tanfidhiah, nanti bakal mengalami resistensi dari PBNU,” terang Nadirsyah yang juga alumnus National University of Singapore dan Wollonggong University itu. (rif)