Warta

NU Sambut Baik Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura

Rabu, 25 April 2007 | 12:44 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Tanah Air, menyambut baik rencana ditandatanganinya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura.

"Jika perjanjian itu bisa diwujudkan, itu satu langkah maju yang harus disambut baik," kata Manajer Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Pengurus Besar (PB) NU Saiful Bahri Anshori di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (25/4).

<>

Dikatakannya, sudah bertahun-tahun Indonesia berusaha menarik Singapura untuk melakukan kerja sama ekstradisi, sebab selama ini penegak hukum Indonesia sulit menangkap penjahat maupun koruptor yang bersembunyi di Singapura.

Dengan adanya perjanjian itu, ada harapan bagi Indonesia untuk membawa pulang para penjahat dan koruptor yang diyakini hidup tenteram di Singapura, terutama mereka yang terlibat skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Tentunya harapan kita bukan hanya orangnya yang bisa dibawa pulang ke Indonesia, tetapi juga uang yang mereka jarah," kata Saiful yang juga Wakil Sekretaris Jenderal PBNU tersebut.

Namun, Saiful mengaku cukup terkejut bahwa akhirnya Singapura mau diajak bekerja sama di bidang ekstradisi yang selama ini boleh dibilang menjadi "kerikil" dalam hubungan Indonesia-Singapura.

Ditanya apakah mungkin ada kesepakatan tertentu, misalnya, Indonesia akan membuka kembali keran ekspor pasir ke Singapura yang memang dibutuhkan negara itu untuk memperluas wilayah daratannya, Saiful menyatakan tidak tahu.

"Tentunya kita berharap tidak ada sisi yang menimbulkan kerugian bagi negara kita terkait penandatanganan kerja sama ekstradisi tersebut, termasuk soal pasir," katanya.

Menurut rencana, perjanjian ekstradisi akan diteken di Istana Tapak Siring, Bali, pada 17 April mendatang dan disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjelaskan, perjanjian ekstradisi itu disepakati berlaku surut hingga 8-9 tahun ke belakang sejak penandatanganan.

"Pokoknya, zaman Pak Harto juga bisa kena," kata Jaksa Agung di Kantor Presiden, Selasa (24/4) lalu. (rif)