Warta

Pertahankan Pancasila Bukan Dosa

Senin, 4 Desember 2006 | 04:27 WIB

Menelusuri latar belakangnya, ia bukan berasal dari keluarga dan lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Meski demikian, tak ada yang meragukan ke-NU-annya. Komitmen, konsistensi, sekaligus kesepahamannya terhadap ajaran Islam moderat yang dibawa NU, cukup menjadi alasan hingga ia dipercaya mengemban amanat menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Nihon (sebutan lain untuk PCINU Jepang)

Indra Pradana Singawinata, begitu nama lengkap mahasiswa S-3 di Ritsumeikan APU, Oita , Jepang itu. Kalau melihat dari latar belakang keluarga dan lingkungan tempat ia dibesarkan, ia tak mungkin disebut nahdliyin (sebutan untuk warga NU) yang fanatik. “Sejak balita sampai SD, saya di Sulawesi Selatan. Dari SD sampai sekarang ngendon di Betawi. Saya bukan berdarah NU asli,” akunya kepada NU Online belum lama ini.<>

Meski begitu, dapat dikatakan sebaliknya. Ia akhirnya mengaku berkhidmat dan ingin mempertahankan eksistensi NU di tanah air. Menurutnya, hal itu diperoleh dari sebuah pencarian. “Hal itu tidak hanya berlaku bagi saya di Oita , namun juga bagi beberapa sahabat pengurus NU-Nihon, Oita , yang hampir semuanya tidak punya latar belakang NU,” terangnya.

Indra, begitu ia akrab disapa, membeberkan alasan dirinya bersama sahabat-sahabatnya di Oita yang lain, mengapa harus memilih NU sebagai media aktualisasi diri serta turut mendakwahkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, sebagaimana dianut NU. “Satu hal yang paling natural, kami putera Indonesia yang beragama Islam,” ujarnya tegas.

“Kepada kata Indonesia , di sini menjadi penting bagi kami, karena jelas, kami Islam, namun kami bukan orang Arab. Nilai-nilai kultur kami adalah Indonesia , dan hanya NU yang berani menyatakan dengan tegas, Islam adalah agama kami. Namun ke-Indonesia-an adalah sebuah keniscayaan, karena memang Allah sudah menciptakan kita sebagai manusia Indonesia ,” jelas Indra.

Untuk kalimat terakhir itu, ia memang agak sedikit sensitif. Maksudnya, sangat tegas, ia tak mau identitas ke-Indonesia-annya terhapus hanya gara-gara harus menjadi Islam. Menurutnya, Islam benar-benar sangat menghargai dan menghormati tradisi dan kebudayaan yang bersifat lokal dan menjadi ciri khas.

Oleh karenanya, ia tak sepaham dengan ajaran dari kelompok dan gerakan Islam garis keras yang seolah-olah tak mau mengakui tradisi-tradisi yang berkembang pada lokal-lokal di tanah air. Ia menilai, kelompok Islam radikal itu selalu berupaya memberangus segala sesuatu yang sifatnya lokal dengan dalih ber-Islam kafah (Islam keseluruhan). Upaya mengganti Pancasila—sebagai ideologi negara—dengan Islam, sudah menjadi rahasia umum bagi kelompok-kelompok tersebut

“Melihat beberapa gerakan Islam yang ada, ada satu hal yang kadang dan pada akhirnya selalu membuat saya bertanya, apakah berdosa bila bernegara dengan berdasarkan Pancasila? Apakah Islam yang kafah memang harus memberangus segala sesuatu yang sifatnya lokal, alias tidak berasal dari Tanah Suci Hijaz?” gugat Indra.

Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut sempat membuatnya gamang akan ke-Islam-an juga ke-NU-annya. Menolak untuk berdiam diri saja, ia berusaha mencari jawaban dan kebenaran akan hal itu. “Akhirnya, alhamdulillah, dengan referensi ulama NU, saya pun bisa meyakini bahwa mempertahankan Pancasila bukan sebuah dosa,” simpulnya.

Tak hanya itu. Hasil ‘pengembaraan’ intelektualnya pun menyimpulkan, mencintai serta melestarikan budaya Indonesia juga adalah sebuah keniscayaan dan bukan pula dosa. “Dari siapakah referensi-referensi ini saya dapatkan? Dari para ulama NU. Karena itulah insya Allah pada akhirnya, saya dan kawan-kawan di Oita pun memilih berkhidmat kepada payung NU,” ungkapnya.
 
Khusus untuk NU, menurut Indra, banyak faktor yang bisa menjadi pemersatu jika memang mau dimaksimalkan. Faktor yang paling utama, katanya, yang membuat NU semakin dalam posisi kurang menguntungkan adalah kapasitas anggotanya.

Menurutnya, banyak warga nahdliyin yang akhirnya termarjinalkan (terpinggirkan), bahkan menyerah-kalah saat dihadapkan pada kehidupan riil dalam suatu sistem, baik sistem ekonomi, politik, sosial maupun budaya. “Karena secara mayoritas kita tidak memiliki kekuatan cukup sebagai daya tawar,” tandasnya.

Atas dasar itu, ia bersama sahabat-sahabatnya di PCINU Nihon, bertekat untuk terus berusaha sebisa mungkin untuk memajukan NU. “Paling tidak bisa ikutan sumbang pikiran dan tenaga agar ‘rumah’ NU sebagai garda Pancasila ini tidak hilang dimakan zaman,” ujarnya mantap.
 
“Jika suatu saat, katakanlah Indonesia jatuh ke tangan rezim agama, insya Allah saya akan lawan. Karena saya tetap percaya bahwa ke-Indonesia-an y