Warta

PP No. 37 Layak Ditunda

Rabu, 24 Januari 2007 | 07:35 WIB

Jakarta, NU Online
PP No 37 tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Mendagri memang layak untuk ditunda pemberlakuannya untuk kemudian dilakukan revisi yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kemampuan daerah. Wasekjen PBNU Syaiful Bahri Ansori berpendapat bahwa PP ini menunjukkan Mendagri tak faham kondisi di daerah.

Peraturan baru yang diantaranya berisi tunjangan komunikasi intensif sebanyak 3 (tiga) kali uang repreresentasi, dan dana operasional 6 (enam) kali uang representasi (vide pasal 14A) yang dibayarkan mulai Januari tahun 2006 (vide pasal 14D), akan semakin membebani APBD terutama pada daerah-daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kecil, yang “dipaksa” untuk mengalokasikan anggaran untuk penghasilan DPRD, ketimban<>g untuk pemenuhan pelayanan publik bagi warganya. “Tidak semua daerah bisa digeneralisir kemampuannya,” tutur mantan ketua umum PB PMII tersebut, Rabu.

Dengan jumlah 434 kabupaten/kota di Indonesia yang rata-rata sebanyak 35 anggota DPRD, maka konsekuensi tambahan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional akan menelan biaya sekitar Rp. 1,4 Trilyun per tahun, di luar biaya Sekwan DPRD.

Diawal tahun 2007, anggota DPRD akan mendapatkan “hadiah tahun baru” dari APBD tahun 2007, berupa rapel tunjangan komunikasi untuk tahun 2006, sebesar Rp. 75,6 juta/orang untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan Rp. 108 juta/ orang untuk anggota DPRD Propinsi. Sementara, untuk Ketua dan Wakil Ketua DPRD mendapatkan kembali tambahan tunjangan operasional yang totalnya menjadi Rp. 226 juta untuk ketua DPRD Kabupaten/Kota dan Rp. 156,24 Juta untuk Wakil Ketua. Demikian halnya dengan DPRD propinsi, masing-masing memperoleh rapelan sebesar Rp. 324 juta untuk Ketua dan Rp. 223,2 juta untuk Wakil Ketua.

Pemberian berbagai tunjangan ditengah-tengah kemiskinan rakyat akan terasa semakin mengiris nurani rakyat. “Aturan ini akan semakin mejjadi bahan ejekan masyarakat, sekan-akan DPRD tak peka terhadap penderitaan rakyat,” tandanya.

Memang pendapatan yang diperoleh tak dapat dikatakan sebagai karupsi karena hal tersebut sesuai dengan aturan perundangan yang ada. Namun, jika dikaitkan dengan kesenjangan dengan masyarakat, maka patut dipertanyakan. “Nga-papa PP ini dikeluarkan tapi kalau kesejahteraan masyarakat sudah bagus,” tuturnya.

Agar kesalahan tersebut tak terulang, Program Manager Gerakan Nasional Pemberantassan Korupsi (GNPK-NU) tersebut berharap mendagri lebih intens menjalin komunikasi dengan departemen lain seperti depkeu, dengan gubernur, maupun dengan bupati agar benar-benar dipahami berapa kemampuan negara untuk membiayai parlemen dan tak menyinggung perasaan rakyat. (mkf)