Warta

"Keadilan” dalam Kebijakan Pangan Dipertanyakan

Rabu, 7 Februari 2007 | 00:27 WIB

Yogyakarta, NU Online
Kebijakan perberasan nasional mutakhir telah dibungkus dalam jargon-jargon sangat populis, semisal demi keadilan bagi rakyat miskin yang mayoritasnya adalah kaum tani. Jargon-jargon itu perlu dipertanyakan ulang untuk merumuskan kebijakan pangan nasional yang lebih menyejahterakan.

Demikian dikatakan Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta KH. Mohammad Maksum saat berbicara dalam ”Diskusi Reguler: Evaluasi Politik Pangan SBY-Kalla” yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Selasa (6/2).

<>

Pada November 2006 menuruti ”tausiyah” Bank Dunia untuk memurahkan harga beras karena dinyatakan bahwa setahun terakhir kenaikan harga beras mengakibatkan adanya tambahan warga miskin lebih dari 3 juta orang. Dikatakan Maksum, kebijakan pemerintah itu bertentangan dengan prisip keadilan itu sendiri.

”Apakah harga beras sebagai produk kerja petani yang umumnya fakir-miskin dan pembayar setia zakat pertanian harus dimurah-murahkan sehingga mereka harus lebih miskin lagi demi rekan-rekannya fakir-miskin lain yang daya belinya terhadap beras terbatas dan tidak pernah ditingkatkan oleh Negara?” seru Maksum.
 
Beras murah, lanjutnya, tidak hanya bisa dibeli oleh kaum miskin, tetapi bisa pula dibeli oleh siapa saja.

”Apakah juga berkeadilan ketika beras murah yang umum sifatnya itu sebagian dinikmati oleh kaum berpunya? Apakah juga bernuansa keadilan ketika harga beras murah dipaksakan untuk bisa mengendalikan laju inflasi ketika para penggede bangsa ini gagap menghadapi maut inflasi dua digit karena kecerobohannya?”

Dikatakan, selama ini kaum tani diposisikan sebagai ”satpam” inflasi, sementara yang diuntungkan oleh inflasi rendah adalah para pedagang kapitalis yang tak perlu repot dengan naik turunnya Upah Minimum Regional (UMR). Kaum bermodal inilah inilah sebenarnya penikmat terbesar dampak beras murah.

Menurut Maksum yang juga penasihat Forum Silaturrahmi Pesantren dan Petani (FSPP), selama ini petani hanya difungsikan sebagai produsen pangan dan bahan baku murah. Lebih dari itu, petani selalu menjadi bemper ketenagakerjaan saat negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja. Pada titik ini petani berfungsi untuk penopang kelayakan industri non-pertanian yang disebutnya sebagai ”pertumbuhan palsu sektor industri modern.”

”Kalau keadilan merupakan nalar dasar berkembangnya politik pangan, dalam terapannya, keadilan ini mestinya diposisikan bagi kepentingan produsen maupun konsumen dengan mengingat  keberlanjutan sistem pangan nasional. Maka sudah barang tentu sangat penting untuk mempertanyakan pertama kali, keadilan bagi siapa?” katanya. (nam)