Warta INDONESIA PASAR BEBAS IDEOLOGI

Tantangan Bagi NU

Senin, 20 November 2006 | 12:37 WIB

Jakarta, NU Online
Indonesia kini tampaknya tak hanya menjadi bagian dari pasar bebas ekonomi dunia, melainkan juga menjadi tempat ‘transaksi jual-beli’ ideologi dunia secara bebas pula. Kemunculan paham, kelompok maupun gerakan Islam garis keras yang marak belakangan ini menjadi salah satu buktinya.

Demikian wacana yang mengemuka dalam roundtable discussion yang digelar Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) di Kantor PP Lakpesdam NU, Jalan KH Ramli, Jakarta Selatan, Senin (20/11). Acara bertajuk “NU dan Pertarungan Ideologi Islam” tersebut dihadiri sejumlah aktivis NU.

<>

Fenomena pasar bebas ideologi tersebut tentu berimbas pada keberadaan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Disadari, organisasi yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah itu kini menghadapi tantangan yang tak bisa dinilai kecil.

“Kelompok-kelompok Islam (garis keras-Red) ini mulai melakukan ekspansi gagasan kepada NU. Bahkan, mereka mulai aset yang menjadi milik NU dan juga kadernya,” kata Fawaid Sjadzili, aktivis Lakpesdam NU yang juga Redaktur Pelaksana Jurnal Tashwirul Afkar.

Tak hanya itu. Menurut Fawaid, kelompok Islam radikal tersebut sudah mulai berani dengan terang-terangan menyerang NU. Tindakan yang sudah dilakukan adalah dengan menyebarkan propaganda negatif lewat berbagai media. “Salah satunya adalah fatwa yang mengatasnamakan ulama Jombang. Selain disebar melalui selebaran di masyarakat, fatwa ini juga disebar di milis-milis (mailing list-Red),” terangnya.

Senada dengan Fawaid, Imdadun Rahmat mengatakan, fenomena tersebut tak lain merupakan bagian dari upaya internasionalisasi gagasan dan paham Wahabi. “Keberadaan Rabitah Alam Islami (di Arab Saudi-Red) merupakan indikasi dari upaya internasionalisasi paham tersebut. Jadi, jangan heran kalau di Indonesia, gerakan Islam garis keras tersebut marak,” ujarnya.

Sedikit berbeda dengan keduanya, Peneliti dari LP3ES Enceng Sobirin menyatakan, jika NU saat ini merasa gerah akan keberadaan kelompok Islam radikal tersebut, pada dasarnya kuranglah beralasan. Sebagai konsekuensi dari pasar bebas ideologi, menurutnya, hal itu adalah sesuatu yang wajar.

“Reaksinya jangan selalu apologis, tapi harus hipotetis. Jangan selalu dan terus berkutat dengan retorika bahwa NU itu besar dan sebagainya,” kata Enceng, begitu panggilan akrab Enceng Sobirin.

Dengan sangat mengesankan ia menjelaskan gerakan yang selama ini dilakukan oleh kelompok Islam garis keras tersebut. Menurutnya, gerakan paham, kemasyarakatan dan politik daripada kelompok-kelompok tersebut menjadi satu paket, tidak dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. “Nah, paket ini kemudian yang membawa adalah partai. Partai inilah bertugas mengawal paket tersebut,” tandasnya.

Hal demikian, katanya, berbeda dengan NU. Di NU, hal tersebut dilakukan secara terpisah, baik NU sebagai sebuah organisasi, paham keagamaan, gerakan kemasyarakatan maupun gerakan politik.

Pernyataan tersebut dibenarkan aktivis Jaringan Islam Liberal Abdul Muqsith Ghozalie. Terutama dalam wilayah gerakan politik, NU tidak pernah seragam. Gerakan politik NU yang kemudian diterjemahkan dalam PKB tidak sama, baik secara horisontal maupun vertial.

“Dalam hal formalisasi syariat Islam, misalkan. Kiai Sahal (Mahfudz-Rois ‘Aam PBNU-Red) menolak formalisasi syariat Islam. Tapi nyatanya tidak sedikit kiai-kiai di daerah yang justru menjadi pendukung utama upaya tersebut,” terang Muqsith.

Keseragaman pandangan di dalam NU, menurutnya, terjadi dalam penghargaannya pada nilai-nilai dan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat lokal. "Selebihnya, dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain, NU tidak pernah sama. (rif)