Daerah

Cara Gus Zaim Lasem Dapatkan Lailatul Qadar 

Jumat, 15 Mei 2020 | 20:00 WIB

Cara Gus Zaim Lasem Dapatkan Lailatul Qadar 

KH Zaim Ahmad (Gus Zaim) Lasem saat mengaji di pesantrennya. (Foto: Istimewa)

Kudus, NU Online
Mendapati malam Lailatur Qadar tentu menjadi cita-cita kaum muslimin di muka bumi. Berbagai cara dilakukan untuk menjemputnya di 10 malam terakhir Ramadhan. Dalam menjemput malam yang lebih baik dari 1.000 bulan itu, KH Zaim Ahmad (Gus Zaim) memiliki cara tersendiri. 

Menurut Pengasuh Pesantren Kauman Lasem Rembang Jawa Tengah ini, ibadah mahdlah (murni, ritual) seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain lain sudah menjadi pilihan wajib setiap muslim dalam mengiringi puasa Ramadhan.

“Sejumlah ibadah dengan memperbanyak shalat sunnah, tadarus Al-Qur’an, dan i’tikaf di masjid, kita pilih untuk mengisi waktu selama Ramadhan,” kata Gus Zaim kepada NU Online, Kamis (14/5) malam.

Di samping ibadah ritual, kaum muslimin perlu mengiringinya dengan ibadah sosial yang dapat dirasakan manfaatnya tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain.
 
“Selama ini banyak orang mencari Lailatul Qadar dengan shalat, wirid, baca Qur’an, sementara implementasinya yang sangat substantif justru dibiarkan,” ujarnya.

“Memang ibadah ritual itu baik. Akan tetapi, ibadah sosial justru lebih baik. Termasuk zakat ataupun sedekah sederhananya,” sambung Wakil Rais Syuriyah PCNU Lasem ini.

Apalagi, lanjut dia, kita kini sedang berada dalam iklim ekonomi yang menurun. Banyak pekerja di-PHK, pendapatan pedagang banyak yang menurun drastis, serta muncul orang-orang fakir miskin baru di tengah pandemi Covid-19.

Manfaat ibadah sosial, menurut dia, juga dapat memberikan efek karambol yang dapat dirasakan oleh pemerintah karena dapat meminimalisir kejahatan. Banyak masyarakat yang mendapatkan perhatian sehingga mereka akan lebih semangat menjalani hidup dengan cara yang baik.

Cucu salah satu pendiri NU KH Ma’shum Ahmad Lasem ini menjelaskan, di 10 hari terakhir bulan Ramadhan kita harus lebih baik dari sebelumnya dengan memperbanyak ibadah ritual dan ibadah sosial.

Selain itu, bagi seorang pendidik harus memperbanyak mengajar. Sementara bagi peserta didik harus banyak belajar. “Ini sering sekali dilupakan dan dianggap biasa oleh orang-orang. Padahal mengajar dan belajar adalah melebihi segalanya,” tandasnya.

Tafakkuru sa’atin afdlalu min ‘ibaadati sittiina sanatan. Ini berarti bahwa berpikir, belajar, dan mengajar satu menit atau satu jam itu lebih baik daripada ibadah ritual selama 60 tahun,” sambung Gus Zaim.

Oleh karena itu, menurut dia, mengajar atau menyebarkan ilmu meski sebentar akan memberi efek berkesinambungan, serta tumbuh dan berkembang bagi penerima ilmu.
 
“Jika itu diajarkan kembali, maka manfaatnya akan terus dirasakan oleh para santri selamanya,” pungkas Gus Zaim.

Kontributor: Afina izzati
Editor: Musthofa Asrori