Anggapan Safar sebagai Bulan Sial Berseberangan dengan Pandangan Ulama
Sabtu, 26 Juli 2025 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Sebagian orang beranggapan, berkeyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan yang membawa kesialan. Anggapan tersebut berseberangan dengan pandangan para ulama, di antaranya Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam karyanya Latha'iful Ma'arif.
Menurutnya, potensi bulan Safar sama dengan bulan lainnya, yakni dapat mendatangkan kesialan atau menjemput keberuntungan.
"Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi)," tulis Muhammad Faizin dalam artikel Khutbah Jumat: Bulan Safar Hapus Mitos Kesialan di NU Online.
Alih-alih membawa kesialan, menurutnya, bulan Safar justru merekam peristiwa monumental bagi kehidupan Nabi Muhammad. Antara lain yakni pernikahan Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib dan hijrahnya dari Mekkah ke Madinah.
"Ini menjadi bukti nyata bahwa Rasulullah menunjukkan bulan Safar bukanlah bulan sial," ujar Ustadz Faizin.
Sejalan, Ustadz Sunnatullah dalam artikel Bulan Safar: Latar Belakang Nama dan Mitos Kesialan di Dalamnya di NU Online mengatakan, bulan Safar yang membawa siang adalah pernyataan yang keliru. Sebab, hal ini hanya merujuk pada tradisi masyarakat Arab yang menganggap bulan tertentu sebagai bulan keburukan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kata Safar berarti sepi atau sunyi. Pemaknaan seperti ini berkenaan dengan konteks masyarakat Arab yang biasa berperang atau bepergian pada bulan itu.
"Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian," katanya, mengalihbahasakan pernyataan Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya.
Selain itu, ia menyebutkan, bahwa Ibnu Manzhur dalam Lisanul 'Arab menyampaikan beberapa alasan di balik penamaan bulan Safar. Selain serupa dengan Ibnu Katsir di atas, alasan lain bahwa orang Arab berkebiasaan memanen semua tanaman dan mengosongkan lahannya.
"Pada (bulan) Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab," terangnya.