Nasional

Antropolog Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme

Senin, 9 Juni 2025 | 18:00 WIB

Antropolog Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme

Antropolog UI Andi Achdian mengkritik labelisasi sejarah resmi. (Foto: NU Online/Aji)

Jakarta, NU Online

Antropolog Universitas Indonesia (UI) Andi Achdian mengkritik upaya Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon untuk menulis sejarah ulang yang dicap resmi oleh negara sebagai upaya dalam menegasikan sejarah yang lebih luas.


Menurutnya, penulisan ulang sejarah nasional ini dibuat secara terburu-buru dan akan diterbitkan pada 17 Agustus 2025 mendatang. Andi menegaskan, penulisan sejarah oleh negara yang dicap resmi itu tidak mengandung nilai sejarah sebagai bentuk pembebasan, melainkan penekanan dan mengabaikan pluralitas sejarah.

 

"Anda bayangkan (ada) dua sejarawan, akan ada dua tafsiran dalam satu peristiwa yang sama. Anda bilang tafsiran saya resmi dan tafsiran anda tidak resmi. Artinya anda menggunakan kekuasaan untuk menundukkan posisi itu yang tidak resmi, yang liar," kata Andi saat diwawancarai untuk Program Menjadi Indonesia, dikutip NU Online pada Senin (9/6/2025).


Andi mengutip Paul Ricœur dalam konsep Hermeneutika Kecurigaan bahwa masyarakat perlu curiga ketika negara mulai mengatur hal-hal liar seperti labelisasi resmi dalam penulisan ulang sejarah.


Lebih lanjut, Andi menegaskan bahwa labelisasi sejarah resmi hanya lahir dari kekuasaan yang fasis dan otoriter.


"Karena dalam pengalaman sejarah yang gemar menggunakan sejarah, klaim kesejarahan di dalam sistem kekuasaannya adalah kecenderungan fasistik dan kecenderungan otoritarianisme yang lahir," ujarnya.


Ia mencontohkan, saat Adolf Hitler sang pemimpin Nazi menuliskan sejarah secara resmi, kemudian diciptakanlah mitos sebagai sebuah glorifikasi terhadap Arya sebagai ras yang paling unggul dan akhirnya hanya membawa kehancuran.


"Musolini juga seperti itu, membangun orientasi negara yang luar biasa. Itulah bahaya dari sejarah resmi," jelasnya.


"Jadi penolakan saya adalah ada bahaya yang dibawa di dalam istilah sejarah resmi yang punya konsekuensi panjang buat kita semua sebagai warga negara," jelasnya.


Sebelumnya, Andi bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) telah melaporkan ke Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak penulisan ulang sejarah resmi.


"Jadi ini orang-orang yang saya kira punya track record yang sama tentang pengalaman otoritarianisme dan mereka bisa melihat maksud Pak Marzuki (Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI) yang dia seorang yang tahu betul bagaimana dasar-dasar hak asasi manusia menjadi bagian dari pijakan negara modern," ujarnya.


Diketahui, DPR telah mengesahkan penulisan ulang sejarah resmi Indonesia. Menbud Fadli Zon mengungkapkan buku tersebut akan dibuat dengan 11 jilid, dimulai dari sejarah awal Nusantara hingga Era Reformasi (1999-2024).


"Yang pertama adalah menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris, apalagi sekarang ini kita 80 tahun Indonesia merdeka sudah saya kira waktunya kita memberikan satu pembebasan total dari bias kolonial ini dan menegaskan perspektif Indonesia sentris," kata Fadli Zon dalam rapat bersama Komisi X di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).