Nasional

Bagi NU, Politik Alat Wujudkan Keadilan dan Kemakmuran Masyarakat

Selasa, 23 Juli 2019 | 02:00 WIB

Bagi NU, Politik Alat Wujudkan Keadilan dan Kemakmuran Masyarakat

null

Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Fasihal Zaini menyatakan bahwa bagi NU, politik adalah bagian dari upaya untuk membangun keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
 
Hal itu didasarkan pada kaidah fiqih tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslaha, yakni kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan umat yang dipimpinnya.

"Maka bagi NU, siapa pun yang menjadi presiden, siapa yang menjadi gubernur, siapa yang menjadi bupati sepanjang jabatan (yang dipegang) amanah, yaitu lahirnya suatu kemaslahatan bagi masyarakat, maka sepanjang itu pulalah kita mendukung,"  kata Sekjen Helmy pada acara Dialog Peradaban Bangsa, Islam, dan TNI yang diselenggarakan DPP PA GMNI di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (22/7). Dialog itu mengusung tema 'Siapa Melahirkan Republik Harus Berani Mengawalnya'.

Pada kesempatan itu, ia mengkapkan rasa syukurnya karena kedua tokoh Indonesia yang bersaing pada Pilpres 2019, antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto telah bertemu. Menurutnya, kedua tokoh telah menunjukkan sikap kenegarawanannya.

"Beliau berdua telah memberikan investasi yang besar bagi pendidikan politik yang lebih matang ke depan sekaligus proses kebebasan politik bagi masyatakat yang akan datang," ucapnya.

Kini, pemerintah didorong harus fokus untuk memerhatikan ekonomi masyarakat kecil. Sebabnya, ia mengemukakan bahwa kesenjangan ekonomi masih menganga. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, tapi asetnya hanya dikuasai oleh segelintir orang.

"Dana yang berputar di Indonesia ini kira-kira ada sekitar 9000 triliun. Dana dari 9000 triliun itu hanya dikuasai oleh 35 orang. Selebihnya dikuasai oleh jumlah penduduk yang ada," ucapnya.

Dihadapan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Helmy juga sempat menyinggung perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Menurutnya, NU dikenal sebagai ahli dalam mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), sementara Muhammadiyah ahli menginvestasikan Rp (rupiah).

Ia menyebut beberapa contoh bagaimana NU mengerjakan PR. Seperti polemik status kepemimpinan presiden pertama Indonesia, Sukarno. Namun para ulama NU dapat menyelesaian persoalan itu dengan memberikan gelar kepada Sukarno, yakni waliyyu-l-amri ad-dharuri bis syaukah (pemimpin dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh).

Pekerjaan rumah lain yang diselesaikan NU, ialah saat tentara sekutu (NICA) yang datang ke Indonesia untuk kembali menjajah. Melihat keadaan tersebut, Rais Akbar PBNU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 di Surabaya yang kemudian meletus peristiswa 10 November.

Fatwa tersebut bagi umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu).

"Lagi-lagi Nahdlatul Ulama ini ahli dalam mengerjakan pekerjaan rumah," ucapnya.

Sementara Muhammadiyah disebut sebagai ahli Rp karena sudah mampu mengelola lembaga pendidikan dan kesehatan dengan baik. 

Pada diialog itu hadir sejumlah pembicara, yakni Wakil Ketua MPR Ahmad Basharah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, dan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto. (Husni Sahal)