Nasional

Khidmat dan Tawadlu Tanda Keimanan

Ahad, 7 Juli 2019 | 16:00 WIB

Khidmat dan Tawadlu Tanda Keimanan

Katib PBNU, KH Miftah Faqih

Jakarta, NU Online
Seorang Muslim yang serius dalam keberimanan dan keberagamaannya, juga serius dalam menjaga syhadatnya. Dalam kalimat syahadat, seorang Muslim menyatakan kesaksian atau pengakuan tiada Tuhan selain Allah (Laillahaillallah)

Katib PBNU, KH Miftah Faqih menyampaikan hal itu saat halal bi halal Muslimat NU DKI Jakarta, Sabtu (6/7) di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat.

"Tidak ada orang Islam yang boleh dominan, apalagi merasa lebih tinggi daripada yang lain. Karena yang paling kuat adalah Allah," kata Kiai Miftah dalam acara yang sekaligus pengajian rutin pertama setelah Idul Fitri. 

Lalu bagaimana mewujudkan Laillahailallah? Kiai Miftah menjelaskan bahwa untuk merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari adalah membangun semangat persaudaraan dan kesetaraan. Hal itu juga sebagai bentuk habluminnas atau hubungan baik dengan sesama manusia.

Sementara dalam membangun hubungan habluminallah, di mana pun berada seorang Muslim harus berkomunikasi dan beribadah kepada Allah, serta terus mentauhidkan Allah. Hanya Allah yang paling menyelesaikan masalah dan mampu menggerakkan diri kita konsisten dalam beragama dan beribadah. 
 
Dalam kepengurusan organisasi seperti Muslimat NU, lanjut Kiai Miftah, wujud habluminannas dilakukan dengan komunikasi dan khidmat pengurus kepada masyarakat luas. "Membangun komunikasi dalam bentuk khidmat, melayani, bukan menguasai. Pengurus Muslimat NU harus melakukan khidmat. Kalau ingin sukses berkhidmatlah," lanjutnya.

Khidmat atau pelayanan kepada masyarakat juga harus dilakukan dengan cara yang tepat dan memberikan kemanfaatan. Untuk itu pelayanan harus didasari dengan tawadlu atau rendah hati, dan tidak merasa paling benar.

Dengan adanya halal bi halal seperti yang diadakan Muslimat NU DKI Jakarta, juga membuktikan ketawadluan. Pasalnya, dalam halal bi halal semua jamaah saling membuka diri untuk meminta maaf dan memaafkan. Momentum halal bi halal juga menandakan usaha setiap Muslim untuk meruntuhkan ego mereka. 

Sifat tawadlu seorang Muslim yang direalisasikan dalam tindakan saling memaafkan dan memberi maaf, juga menandakan bahwa ia mempunyai moralitas atau identitas. Sebab, identitas dan integritas seseorang terlihat dari perilakunya.

Setelah mampu membangun karakter atau integritas diri, seorang Muslim wajib untuk konsisten. Demikian juga Muslimat NU dalam hubungan sosial harus konsisten dalam membangun sifat-sifat tawasuth dan memberikan komunikasi yang baik.

"Khidmat menyaratkan kesetaraan, kesepadanan, keseimbangan. Hubungan yang terbangun adalah subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek. Bukan instruksi tapi koordinasi dan konsolidasi," imbuhnya. 

Jika Muslimat NU mampu memberikan khidmat dan kemanfaatan bagi masyarakat, membuat masyarakat lebih baik di hadapan Allah, kata Kiai Miftah, niscaya kelak di akhirat akan disatukan oleh Allah dalam syurga-Nya. (Kendi Setiawan)



Terkait