Warta

Dakwah Perlu Kontektualisasi

Selasa, 13 Februari 2007 | 05:02 WIB

Jakarta, NU Online
Perubahan situasi dan lingkungan masyarakat perlu diantisipasi oleh para dai dalam menjalankan dakwahnya. Ajaran agama harus dikontekstualisasi sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.

Wakil Rais Aam PBNU KH Tolchah Hasan menjelaskan terdapat ayat-ayat yang memang sifatnya permanent, namun juga terdapat ayat yang dipengaruhi oleh kondisi tempat dan waktu. ;

Dicontohkannya dalam hal zakat. Dalam kitab-kitab klasik, tidak terdapat pembahasan zakat bagi peternak ayam atau pemilik kebun kelapa sawit. Jika ini tidak tidak dikonteksualisasi, banyak potensi zakat yang hilang.

“Coba berapa penghasilan dari konsultan yang tidak ada hokum zakatnya sementara petani yang hanya mendapatkan gabah satu ton harus dizakati,” tutur saat memberikan ceramah pada acara wokhshop Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) di Jakarta, Senin (12/2).

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dalam hal ini, zakat harus dilihat sebagai upaya distribusi harta dari orang kaya kepada orang miskin, tidak hanya berputar dikalangan orang kaya saja.

“Jika zaman dahulu nabi menyuruh kita untuk belajar sampai ke negeri China, karena waktu itu konteksnya disana memiliki teknologi yang maju seperti dalam bidang tekstil dan kertas, kalau sekarang ya utlubul ilma wasalu bil Ameriki,” paparnya.

Irja dan NTT Butuh Dai

Dari seluruh kawasan di Indonesia, kata Kiai Tolchah, Irian Jaya atau Papua dan NTT merupakan daerah yang paling membutuhkan sentuhan dari para dai. Pemahaman kaum muslim terhadap ajaran Islam di daerah tersebut masih sangat lemah.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dakwah yang dilakukan ini semata-mata untuk meningkatkan pemahaman ajaran Islam buat kaum muslimin disana, bukan untuk umat agama lain. “Banyak umat Islam yang tak ngerti bagaimana mandi junub atau berwudhu ketika mau sholat,” tuturnya, sembari bercerita tentang aktifitasnya sejak tahun 1980-an dalam upaya peningkatan pemahaman ajaran Islam disana.

Kuatnya tradisi kristiani di daerah tersebut menyebabkan seolah-olah ada tradisi yang hampir sama. Masih ada yang mengatakan masjid sebagai gereja muslim. Mereka juga datang ke masjid untuk sholat Jum’at jam 10 pagi, terus baca-baca sholawat sampai waktunya sholat jum’at.

Tak heran jika akibat minimnya pengetahuan ini, masyarakat muslim hanya menjalankan sholat hanya pada hari raya dan sholat jum’at saja. “Kalau kita bicara kualitas imam sholat, ya bacaannya jauh dari sempurna, tapi bagaimana lagi, kondisinya memang seperti itu,” tanyanya.

Saat ini sudah terdapat sebuah pesantren binaan yang dibangun disebuah kecamatan di NTT. Para pemuda juga dikirimkan ke Jawa untuk belajar di pesantren yang nantinya bisa mengajar disana. “Ada diantara mereka yang sudah balik ke daerahnya,” paparnya. (mkf)


Terkait