Warta

Ideologi Transansional Sukses, Indonesia Berubah Total

Kamis, 21 Juni 2007 | 23:32 WIB

Jakarta, NU Online
Gerakan politik dalam bentuk ideologi transnasional (antar-negara) harus semakin diwaspadai. Gerakan tersebut mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berupaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

“Saya kira kalau gerakan mereka sukses, ya otomatis negara ini diubah, otomatis tidak negara kesatuan, tidak UUD 1945, mesti diubah karena memang sudah begitu programnya,” kata Ketua Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Ghozalie Said, di Jakarta, Kamis (21/6).

ss="MsoNormal">Menurutnya, jika ancaman ini menjadi kenyataan, maka Indonesia bisa bubar karena memang tujuan ideologi tersebut salah satunya adalah membentuk pemerintahan Islam (khilafah islamiyah). Konsep pemerintahan itu meniadakan keberadaan negara saat ini dan diganti pemerintahan tunggal yang membawahi seluruh umat Islam di dunia.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Penulis buku “Ideologi Kaum Fundamentalis Trans Pakistan Mesir” itu mendefinisikan ideologi transnasional sebagai gerakan Islam yang berada di Tanah Air tapi dikendalikan dari luar. Ia menyebut, misalnya, Ikhwanul Muslimin kedudukan al Mursyidul Aam-nya di Mesir dan Hizbut Tahrir yang pemimpinnya di Yordania atau Syiah dari Iran.

Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur, itu berharap kepada pemerintah mampu membuat kebijakan yang jelas terhadap gerakan-gerakan tersebut agar tidak mengancam keberadaan negera. Di negara-negara di Timur Tengah sendiri, gerakan-gerakan itu dilarang karena memang tujuannya untuk menghancurkan negara dan diganti dengan pemerintahan Islam sebagaimana ide yang dikembangkan Hizbut Tahrir. Indonesia tentunya bisa juga bubar jika ide pemerintahan Islam ini terlaksana.

“Saya kira, pemerintah itu mestinya jelas ada kebijakan, tidak dibiarkan begitu saja. Atau memang disengaja oleh pemerintah di samping ada gerakan Islam, ada gerakan kiri sebagai pengimbang,” imbuhnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dosen Institut Agama Islam Negeri Surabaya Surabaya itu menjelaskan, salah satu perkembangan kelompok tersebut adalah rencana konferensi tentang pemerintahan Islam sedunia yang akan diselenggarakan di Jakarta. Rencananya, konferensi itu mengundang para pengikut Hizbut Tahrir dari berbagai negara.

Berkaitan dengan aspek peribadatan dan syariat, Ghozalie menjelaskan, mereka hampir rata merupakan penganut paham Wahabi baru. Kelompok-kelompok ini tidak suka dengan tradisi yang dijalankan oleh NU, seperti tahlil.

Sementara itu, pandangan politik dari kelompok-kelompok ini adalah hadist nabi “man maata, walaisa biunukhihi baiah mata mitaatan jahiliyyah” yang artinya “Barangsiapa yang meninggal dan tidak pernah berbaiat khalifah, maka ia mati jahiliyyah”, dianggap mati kafir.

Kelompok Ikhwanul Muslimin sendiri juga menggunakan dalil yang senada, yaitu “waman la yahkum bima anzalallah, faulaaika humul kaafiruun”. Artinya, “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk golongan orang yang kafir”

“Ini kan berat secara teologis. Kita ini dianggap tidak Islam lagi karena tidak ikut paham mereka. Saya lihat khutbah-khutbahnya begitu, saya denger begitu,” paparnya.

Ghozali menjelaskan, gerakan Ikhwanul Muslimin doktrinnya berasal dari Sayyid Qutb yang ditulis dalam bukunya yang terkenal, yaitu Pelita Jalan yang menyatakan di antaranya, suatu negara yang tidak memberlakukan syariat Islam, berarti negera itu jahiliyah.

“Maka musuh utamanya adalah pemimpin negera itu. Sebelum memusuhi Israel, memusuhi negaranya sendiri saja. Kedua, negara yang tidak memberlakukan syariat Islam ya negera jahiliyah, karena negera jahiliyah, fikih menjadi tidak penting,” imbuhnya.

Menurutnya peran NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang turut menjadi founding father Indonesia menyebabkan mereka memiliki suasana batin yang berbeda dengan gerakan-gerakan Islam baru tersebut.

“Disitu bedanya, karena NU dan Muhammadiyah sebagai founding fathers yang ikut meletakkan Pancasila. Artinya ada suasana keterikatan secara kebatinan dalam kontinyuitas negera. Jadi history continuity. Kita punya beban moral untuk mempertahankan NKRI,” tandasnya.

Karena itulah antara Islam dan nasionalisme orang Indonesia bagi orang NU adalah adalah sesuatu yang tidak bisa dipisah. “Seperti orang Melayu pasti Islam, Islam adalah orang Melayu, sudah menyatu seperti itulah, otomatis merekalah yang membuat budaya, diantaranya budaya masjid, tradisinya, yang sudah terbentuk karena sudah lama,” tuturnya. (mkf)


Terkait