Warta

Kelompok Islam Moderat di Indonesia Harus Diperkuat

Jumat, 27 Juli 2007 | 07:14 WIB

Jakarta, NU Online
Islam moderat merupakan model Islam yang paling mewakili karakter budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Karena itu, kelompok-kelompok Islam model ini, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, harus diperkuat posisinya untuk mencegah semakin meluasnya gerakan Islam garis keras dan liberal di negeri ini.

Demikian dikatakan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali saat menjadi narasumber pada Dialog Islam dan Negara bertajuk “Spirit Keagamaan dalam Politik Kebangsaan” di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (26/7) kemarin.<>

As’ad menjelaskan, kelompok Islam moderat yang memiliki ciri bersifat lokal itu kurang mendapat dukungan dan jaringan dari luar. Akibatnya, gerakan mereka hanya terbatas pada wilayah negara tertentu saja. “Kelompok ini memang sangat lokal, tapi kurang mendapat jaringan internasional. Itulah kelemahannya,” terangnya.

Meski demikian, ujar As’ad, karakter lokalnya yang khas dan lebih mengedepankan prinsip Islam rahmatan lil alamin, membuat kelompok ini dinilai cukup bisa bersinergi dengan yang lain, seperti kelompok Islam sekuler/liberal dan kelompok Islam garis keras.

“Kelompok moderat ini salah satu ciri lainnya terbuka bagi penggunaan sistem politik manapun. Berbeda, misal, dengan kelompok Islam garis keras yang cenderung menggunakan satu model sistem politik saja, seperti model Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam),” papar As’ad.

Berbeda dengan golongan Islam moderat, kelompok Islam garis keras dan liberal, lebih bersifat tertutup dan sulit untuk berhubungan satu sama lain.

Sementara itu, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia KH Ma`ruf Amin yang juga hadir pada kesempatan tersebut, menilai, gerakan yang mengupayakan penerapan syariat Islam di tingkat negara merupakan penyakit lama yang timbul kembali.

"Dan ini karena ada provokasi dari luar. Baik gerakan sekuler maupun fundamentalis, ‘provokatornya’ dari luar, yang disebut Pak Hasyim Muzadi sebagai ideologi transnasional," katanya. (rif)


Terkait