Warta

Reformasi ”Sedang Akan” Rumuskan Agenda

Rabu, 13 Juni 2007 | 02:41 WIB

Jakarta, NU Online
Reformasi Indonesia berlangsung secara reaktif dan tidak pernah punya agenda yang jelas. Para reformis belum memberikan rumusan apa yang akan dilakukan setelah reformasi. Era yang ditandai jatuhnya rezim Orde Baru pimpinan Soeharto itu berjalan secara alamiah dan terus berproses.

“Sering ada yang bilang kita sudah menyimpang dari agenda reformasi, saya jadi balik bertanya agenda reformasi yang mana? Reformasi itu reaktif saja, kalau kita lihat yang tidak baik kita rubah saja,” kata pakar hukum tata negara Ryas Rasyid dalam Diskusi Kebangsaan bertajuk ‘Legalitas Amandemen Undang Undang Dasar 1945: Prosedur Hukum dan Dimensi Politik’ di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (12/6).<>

Agenda reformasi hanya bisa dejelaskan sebagai agenda untuk mengubah beberapa tatanan yang salah dalam Orde Baru. Program desentralisasi atau otonomi daerah, misalnya, digulirkan karena pada masa Orde baru kreatifitas daerah sangat terhambat. Daerah-daerah dimiskinkan, kekayaannya dikeruk oleh pemerintah pusat.

Para pemimpin daerah bersibuk mengurus program dana bantuan daerah tertinggal. Padahal daerah yang bersangkutan tergolong kaya. Semua dikeruk semua ke pemerintah pusat. Daerah tidak ada wewenang.

Namun, desentralisasi, kata Ryas, dalam perjalanannya telah mengancam eksistensi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). NKRI sebenarnya sudah didistorsi dengan otonomi Aceh dan Papua. Model ini disebut sebagai federalisme asimetrik, tidak murni negara kesatuan lagi.

“Waktu itu saya menteri otonomi daerah tapi anehnya tidak pernah diajak omong; kita kelabakan waktu itu. Aceh dan Papua kan dikasih karena berontak, yang lain protes kami yang baik malah tidak, apa kami perlu berontak dulu. Tapi Kenapa itu bisa lolos?” tegas Ryas menangkis Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj yang menganggap dirinya sebagai aktor otonomi khusus.

Ditambahkan Ryas, saat ini di daerah-daerah lain terus bermunculan gerakan otonomi khusus. Targetnya keuangan bukan lagi politik, namun otonomi untuk memanfaatkan dan mengelola potensi ekonomi daerah.

“Seperti Riau, dan insyaallah bulan ini Kaltim, lalu Bali juga sedang mempersiapkan. Kita tidak memiliki standar acuan untuk otonomi khusus. Setelah kran reformasi dibuka airnya meluber kemana-mana. Itu urusannya. Setelah reformasi sistem menjadi tidak jelas,” katanya.

Utusan Golongan Hilang

Kecelakaan lain di era reformasi, lanjut Ryas Rasyid, adalah dihilangkannya wakil golongan di wakil golongan di badan legislatif. Menurutnya, tidak semua golongan dalam masyarakat terwakili, terutama dari kalangan minoritas.

”Perempuan juga tidak cukup terwadai oleh banyaknya dari partai. Misal juga golongan penderita cacat, siapa mewakili mereka. Kelompok ras tertentu juga. Bahwa Pak Harto menggunakan itu untuk golongnnya itu urusan lain, sebab negara tidak bermaksud seperti itu,” katanya.

Dikatakan Ryas, wakil golongan itu peting untuk menunjukkan bahwa negara ini kekeluargaan. Selain itu, para pendiri bangsa ini adalah utusan-utusan dari golongan tertentu. “Polri juga tidak berhak memilih, apakah mereka itu termasuk warga negara atau tidak,” tambahnya.

Namun, menurutnya kalaupun ada usulan dilakukan amandemen untuk kelima kalinya, tidak perlu dilakukan secata tergesa-gesa. “Kalau perlu kita adakan amandemen sekali lagi tapi yang menyeluruh, meskipun lama. Saya setuju Pak Hasyim (KH Hasyim Muzadi. Red) kita butuh proses dan pertimbangan yang matang,” katanya.(nam)


Terkait