Warta

Hasyim: UUD 1945 Hasil Amandemen Perlu Dikaji Ulang

Rabu, 17 Januari 2007 | 11:47 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat bahwa UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini perlu dikaji ulang. Berbagai permasalahan dan keruwetan sistem kenegaraan saat ini salah satunya disebabkan oleh amandemen UUD 1945 yang kebablasan.

“Saya tidak setuju kembali ke UUD 1945 yang asli, ada bagian-bagian yang memang harus diamandemen, tapi amandemen yang sekarang ini kebablasen yang akhirnya menimbulkan keruwetan sistem ketatanegaraan,” tandasnya dihadapan Kaukus DPD NU yang berkunjung ke kantor PBNU, Rabu.

<>

Dikatakannya bahwa sistem kabinet presidensial tapi presiden masih tergantung kepada partai dalam pemilihan para menterinya menunjukkan ketidakjelasan sistem ini sehingga presiden susah bergerak. “Kesetiaan para menterinya lebih pada partainya daripada ke presidennya,” tambahnya.

Indonesia dikatakan oleh mantan cawapres yang berpasangan dengan Megawati tersebut bahwa sistem bicameral sebenarnya juga tidak dapat dikatakan dijalankan di Indonesia karena ada MPR, DPR, dan DPD, ini seperti trikameral. “DPD yang mewakili suara lebih banyak malah tidak memiliki wewenang yang memadai dalam memperjuangkan aspirasi rakyat,” tuturnya.

Kondisi ini diperparah dengan adanya otonomi daerah yang kebablasan sehingga koordinasi antara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi sulit. “Presiden tidak gampang memanggil gubernur, bupati belum tentu mau dipanggil gubernur, tapi mereka mau dipanggil yang modali kampanye. Bagaimana kalau yang modali semua ini satu orang, merekalah the real power di Indonesia ini,” tandasnya.

Kondisi-kondisi ini menurut Hasyim sebenarnya merupakan reaksi dari sistem orde baru sehingga ada kesan asal beda saja. “Dulu eksekutif yang berkuasa lalu dirubah parleman yang berkuasa, dulu sentralisasi sekarang desentralisasi yang berlebihan, dulu banyak pelanggaran HAM lalu UUD hasil amandemen banyak sekali yang membahas masalah HAM, kita jadinya kebablasan,” tambahnya.

Para anggota DPD yang hadir tersebut mengeluhkan kecilnya peran yang mereka mainkan membuat mereka sering dituntut oleh konsituen mereka di daerah untuk menyelesaikan berbagai persoalan di daerah, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa karena memang tak memiliki wewenang yang memadai. “Kalau memang tak punya wewenang apa-apa lebih baik dibubarkan saja,” tandas salah seorang anggota DPD dengan nada agak emosianal.

Mereka berharap PBNU membantu menyamakan persepsi tentang perlunya perubahan UU Susduk kepada anggota DPR yang memiliki latar belakang nahdliyyin. Perubahan tersebut tak dapat dilakukan karena suara dari seluruh anggota DPD belum memadai untuk mengusulkan perubahan sementara anggota DPR menolaknya.
 
Diantara yang hadir adalah KH Mujib Imron dan KH Nuruddin A Rahman dari perwakilan Jatim, HM. Sofwal Hadi, HM Said, HA Makkie dari Kalsel, Sujadi dan Hj. Hariyanti dari Lampung, H Muhyiddin Shobri dari Bengkulu, Soemardhi Thaher dari Riau, H Sagaf Usman dari Banten, Arief Natadiningrat dari Cirebon Jabar. H. SAgaf Usman mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 34 orang anggota kaukus dan masih akan bertambah lagi. (mkf)