Warta

Sarasehan Satu Dekade Reformasi Indonesia Digelar di London

Jumat, 7 Maret 2008 | 03:31 WIB

London, NU Online
Warga Indonesia di London menggelar acara “Sarasehan Satu Dekade Reformasi” di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, Kamis (6/3) sore waktu setempat. Sarasehan yang dihadiri oleh para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang itu mengambil tema, “Sudahkah Reformasi Membawa Kesejahteraan?”

Kontributor NU Online M. Izzul Haq melaporkan, acara tersebut digelar bersama oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) United Kingdom (UK), PCI Muhammadiyah UK, Perhimpunan Pelajar Indonesia di UK, dan didukung penuh oleh KBRI London.<>

Sebanyak 60 peserta memadati Ruang Crutacala KBRI London, tempat dilangsungkannya sarasehan. Para pembicara yang hadir antara lain Prof Dr Dien Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Prof Dr Masykuri Abdillah (Ketua PBNU), Prof Dr Dewi Fortuna Anwar (LIPI), Dr. Rizal Sukma dan Dr Clara Yuwono (CSIS). Mereka berada di London setelah sebelumnya menghadiri konferensi di Wilton Park 3 – 5 Maret.

Acara yang dibuka oleh Atdikbud KBRI London Riza Sihbudi ini juga diakses secara streaming online dengan diikuti beberapa peserta seperti dari Indonesia, Jerman, Belanda, AS, Libya dan Pakistan. Acara ini dipandu oleh moderator James Lapian, seorang wartawan kawakan BBC London.

Menjawab pertanyaan moderator, “Apakah demokrasi akan membawa kesejahteraan?” para pembicara secara kompak menyatakan bahwa demokrasi tidak bisa dipersalahkan ketika Indonesia belum mencapai titik kesejahteraan yang didambakan.

“Bukan demokrasi yang kita pertanyakan, tetapi implementasinya apakah efektif dan produktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata Dewi Fortuna Anwar.

Sementara itu Rizal Sukma menyatakan tidak sepakat dengan pandangan bahwa demokrasi mempersulit proses pencapaian kesejahteraan. Baginya, demokrasi justru hal itu semakin positif karena warga bisa mengontrol perilaku aktor-aktor negara.

Dien Syamsuddin menengarai adanya pemahaman dan penghayatan akan kebebasan yang kebablasan dalam demokrasi sehingga menyulitkan kontrol sosial, dan 10 tahun reformasi ini adalah momentum tepat untuk melakukan introspeksi.

Masykuri Abdillah lebih menyoroti perilaku berpolitik yang tidak berkualitas dan ketiadaan etika politik. "Yang lebih dominan adalah 'how to get power' tetapi bukan 'how to use power'", kata guru besar UIN Jakarta itu.

Ditambahkan, rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan makin memperparah situasi dengan munculnya tren money politic, sementara kontrol yang ada pun menjadi tidak efektif. (nam)


Terkait