Fragmen

Muktamar NU 1962 (Bagian Ke-2/Habis)

Kamis, 30 Januari 2020 | 10:00 WIB

Muktamar NU 1962 (Bagian Ke-2/Habis)

Presiden Soekarno, KH Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid NU di Muktamar NU Sala 1962

Di era 1960-an, istilah penentangan terhadap neo-kolonialisme (Nekolim) cukup mencuat, terutama setelah Presiden Soekarno mencetuskan politik konfrontasi atas pendirian Federasi Malaysia, yang dinilai sebagai proyek imperialisme Inggris. Semangat tersebut juga muncul dalam Muktamar ke-23 di Kota Sala.

Slogan-slogan bernada anti-imperialisme dan anti-neokolonialisme seperti "Menentang Pemerasan, Pengisapan, Riba, dan Kapitalisme Matjam Apapun Djuga”, “Menentang Pengaruh Kebudajaan Jang Merusak Ahlaq”, dan “Menentang Kolonialisme, Dictatuur, dan Imperialisme Dari Manapun Djuga”, menghiasi di beberapa sudut lokasi Muktamar, juga di buku panduan untuk peserta.

Bung Karno, pada saat menyampaikan pidato di depan para peserta Muktamar, 28 Desember 1962, menyinggung peran penting NU dalam upaya perjuangan merebut Irian Barat dari Belanda. Ia juga menyampaikan apresiasi atas saran yang telah diberikan Kiai Wahab yang dikenal dengan “Diplomasi Cancut Tali Wondo”.

"Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalisme, maupun sosialisme. NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho pak Wahab ini bilang sama saya waktu di DPA dibicarakan berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan: jangan politik keling. Atas advis anggota DPA yang bernama Kiai Wahab Hasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora dan berhasil saudara-saudara!”

Ia pun tak lupa menyampaikan ungkapan kecintaannya kepada NU, seperti halnya yang sering ia lakukan kala memberi sambutan saat diundang organisasi lain.

“... Saudara-saudara sesudah bersenda gurau demikian saya Insya Allah hendak memberi amanat pada Mu’tamar Nahdlatul Ulama. Sekarang hari Jumat, sehingga amanat saya itu tidak dan tidak boleh melewati jam 12... Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang idak meragukan kecintaan saya kepada NU!”

Sementara itu, Rais Aam PBNU Kiai Wahab Chasbullah dalam pidatonya, berharap muktamar kali ini menjadi pendorong yang kuat bagi NU agar terus berkembang maju di seluruh pelosok Tanah Air. Ia juga mengingatkan akan pentingnya persatuan, khususnya di kalangan umat Islam.

“ ... Perdjuangan dan pekerdjaan serta tanggung djawab didasarkan atas hadist Rasulullah SAW jang artinya : “Ummat Islam itu semisal satu badan, apabila salah satu anggauta mengeluh kesakitan akan terasalah seluruh badan dengan rasa demam dan kurang tidur”. Dan sabdanja jang artinja : “Ummat Islam itu semisal satu bangunan satu sama lain saling memperkuat”. Pun sabdanja pula jang artinja : “Dan selama Ummat Islam berdiri tegak di atas agama Allloh, selama itu pula tak akan dapat diganggu oleh siapapun jang menentangnja sampai besuk hari kiamat”.

Demikianlah, Muktamar ke-23 NU di Kota Sala, yang kala itu masih dikuasai PKI, akhirnya dapat berjalan hingga selesai. Muktamar di Sala ini sekaligus menjadi Muktamar yang terakhir di era Presiden Soekarno.

Pada tahun 1967, NU baru bisa menyelenggarakan Muktamar berikutnya, ketika Soeharto sudah menjabat sebagai presiden, yang menandai lahirnya Orde Baru. Sebuah rezim yang justru melanggengkan sistem neo-kolonialisme di negeri ini. Dan perjuangan pun terus berlanjut...

... Hingga saat ini

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Abdullah Alawi