Kesehatan

Tumpas Gaya Hidup Sedentari pada Anak dengan Dukungan Lingkungan Sekolah

Jumat, 20 September 2024 | 23:30 WIB

Tumpas Gaya Hidup Sedentari pada Anak dengan Dukungan Lingkungan Sekolah

Diskusi kesehatan anak pada Rangkaian Rakornas LP Ma'arif NU 2024 dan Munas Sako Pandu Ma'arif di Hotel Yuan Garden, Jakarta Pusat pada Kamis (19/9/2024). (Foto: NU Online/Afrilia)

Jakarta, NU Online

Perilaku gaya hidup sedentari masyarakat Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 2023. Kemenkes menjelaskan, kegiatan sedentari (sedentary) adalah kegiatan yang mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di luar waktu tidur, dengan karakteristik keluaran kalori sangat sedikit yakni <1.5 METs.


"Setidaknya satu dari enam orang di Indonesia pola aktivitas hariannya adalah aktivitas sedentari," kata Direktur Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Elvieda Sariwati pada Rangkaian Rakornas LP Ma'arif NU 2024 dan Munas Sako Pandu Ma'arif di Hotel Yuan Garden, Jakarta Pusat pada Kamis (19/9/2024).


Dengan kata lain, aktivitas sedentari merupakan kegiatan yang minim gerakan sehingga antara asupan serta pembakaran kalori tidak seimbang.


"Aktivitas yang sedentari ini jika terus menjadi kebiasaan, bisa memicu berbagai penyakit saat sudah dewasa. Salah satunya penyakit Kardiovaskular yang tinggi risiko kematian," jelas sosok yang kerap disapa Elvy ini.


Elvy menuturkan bahwa pentingnya melakukan antisipasi dari berbagai penyakit saat dewasa dengan aktif bergerak dan meninggalkan pola kegiatan sedentari dimulai sejak usia anak-anak dan remaja.


Terlebih saat ini perkembangan teknologi memberikan berbagai kemudahan yang justru mengurangi gerak aktif harian seseorang.


"Kalau sebelumnya kita berbelanja dengan berjalan kaki, sekarang kita tinggal pencet hp atau chat lalu makanan datang. Inilah yang secara tidak sadar membuat orang semakin jarang bergerak," ujarnya.


Jika seseorang tidak bergerak secara aktif, otot-otot dalam tubuhnya akan mengecil dan menghambat laju metabolisme. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan mudah terkena komplikasi penyakit saat dewasa.


Elvy menjelaskan, "proporsi aktivitas fisik yang cukup ideal adalah 30 menit per hari selama lima hari (150 menit dalam seminggu). Tetapi enam dari sepuluh anak usia 10-15 tahun aktivitas fisiknya masih dalam kategori kurang. Ini yang perlu kita tingkatkan lagi."


Oleh karena itu, menurut Elvy sangat perlu menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung anak-anak untuk memiliki aktivitas fisik yang tinggi.


"Bisa dimulai dari hal kecil yang akan terbentuk menjadi kebiasaan, misalnya sekolah tidak menggunakan lift tapi naik turun tangga dan kegiatan luar kelas," kata Elvy.


Ia juga berharap lembaga pendidikan di bawah naungan LP Ma'arif NU turut andil dalam pentingnya peran sekolah untuk membentuk lingkungan yang mendukung untuk melakukan aktivitas fisik, terutama harus diawali oleh para tenaga pendidik.


"Anak-anak jangan hanya disuruh bergerak tetapi gurunya tidak. Harus sinergi dan bersama-sama kompak agar tidak terbiasa menjalani hidup yang sedentari," tegasnya.


Selain itu konsumsi nutrisi yang cukup juga diperlukan agar selain memiliki fisik yang kuat anak-anak juga cerdas dalam berpikir.


Elvy mengimbau agar anak-anak memakan makanan yang minim proses agar kandungn gizinya tetap terjaga. Ia juga berpesan agar menghindari makanan ultra proses seperti nugget olahan, sosis, dan makanan ringan yang kandungannya kurang memenuhi gizi harian.


"Makanan yang baik adalah makanan yang segar dan tidak terlalu banyak diproses agar kandungan nutrisinya terjaga. Seperti ikan, bisa dikonsumsi dengan cara digoreng, dikukus, dan sebagainya serta tidak perlu mengalami proses yang sedemikian rupa," pungkasnya.