Nasional

Aktivis Media Sosial Lintas Iman di Magelang Bentuk Jamaah Kopdariyah, Gelorakan Kerukunan dan Persatuan

Selasa, 1 November 2022 | 16:30 WIB

Aktivis Media Sosial Lintas Iman di Magelang Bentuk Jamaah Kopdariyah, Gelorakan Kerukunan dan Persatuan

Sejumlah aktivis Jamaah Kopdariyah sedang mengadakan pertemuan. (Foto: dok. Jamaah Kopdariyah Magelang)

Jakarta, NU Online 

Magelang, Jawa Tengah tak hanya menyimpan sejuta pesona dan deretan obyek wisata yang bernilai sejarah, namun menjadi satu dari sekian kota paling toleran dengan skor tertinggi di Indonesia. Hal ini berdasarkan riset indeks kota toleran (IKT) yang dilakukan oleh SETARA Institute pada tahun 2021.


Di kota sejuta bunga ini kerukunan antarumat beragama yang dirintis oleh para pemuka agama terjalin erat. Beragam agama dan aliran kepercayaan bisa berkembang bebas, demikian pula penganutnya bisa melaksanakan ibadah sesuai ajaran masing-masing tanpa ada yang menghalang-halangi.


Namun, dalam beberapa dekade ancaman hoaks yang beredar di media sosial mengancam kerukunan umat beragama di wilayah Magelang hal itu mengakibatkan perpecahan di kalangan umat karenannya untuk membentengi terjadinya konflik terbentuklah satu komunitas yang dinisiasi oleh sejumlah aktivis media di Magelang bernama Jamaah Kopdariyah Magelang Raya. 


Salah satu penggagas Jamaah Kopdariyah, KH Ahmad Labib Asrori mengatakan Jamaah Kopdariyah Magelang Raya hadir di tengah sentimen perbedaan yang semakin meningkat di media sosial. Keresahan para remaja, dewasa dan orang tua ketika bersosial media terlalu berlebihan, tanpa jeda dan beretika yang berdampak pada perpecahan saling bermusuhan dan kebencian yang berlarut-larut tanpa usai. Dilatarbelakangi keprihatinan itu, sekitar April 2017 dibentuklah forum tersebut.


“Ada beberapa teman muda datang ke rumah mereka prihatin terhadap konflik yang sering terjadi di media sosial. Di mana orang berdebat saling menjatuhkan, saling mencaci maki kemudian kita saling diskusi bagaimana mengcounter kondisi orang yang sering konflik di media sosial sebetulnya kalau ketemu bagaimana sih sikap mereka. Karena orang yang geger di media sosil tidak tahu latarbelakang, status sosial, aspek intelektual, agama apalagi jelang pilpres, pileg itu sering konflik,” ungkapnya kepada NU Online, Selasa (1/11/2022).


Apalagi, lanjutnya, terkait kerukunan umat beragama warganet kerap berdebat tanpa tahu sebenarnya siapa yang sedang diajak berdebat itu. Jadi perang media sosial itu melahirkan sekat-sekat di dalam masyarakat. Sebab itu para penggerak ini menginisiasi forum yang mempertemukan para aktivis media sosial dari berbagai lintas agama. 


“Orang kalau di media sosial pengin ketemu namanya kopi darat atau kopdar. Kemudian dibentuk nama Jamaah Kopdariyah.Istilah ini digunakan sebetulnya karena ironi saja. Orang di Indonesia senangnya ke arab-araban atau keinggris-inggrisan ini hanya sindiran saja,” bebernya.


Strategi yang dilakukan Jamaah Kopdariyah adalah dengan menghadirkan para tokoh lintas agama, cendekiawan, budayawan dikonsep dengan seni budaya mengedepankan kearifan lokal setiap bulan di beberapa tempat seperti pesantren, vihara, gereja, dan lainnya.


“Jadi setiap pertemuan itu kami menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan agama kadang kiai, romo, pendeta, biksu dan penghayat kepercayaan dengan berbagai tema yang sedang update saat itu. Bahkan kita pernah mengadakan seminar SOP pemakaman antar agama kemudian bagaimana umat Islam memperlakukan orang mati dan penguburan orang katolik,” jelasnya. 


Jamaah Kopdariyah memberikan nuansa baru berupa kegiatan dakwah, diskusi lintas agama, budaya antar generasi muda dengan inklusif, terbuka, ramah dan menyenangkan karena dikonseptualisasikan dengan seni budaya sebagai penguat lokalitas dan mengedepankan nilai-nilai instrumental. 


Sementara itu tujuan Jamaah Kopdariyah adalah menggelorakan semangat keberagaman.Tidak bisa ‘tidak’ sebab menurutnya setiap orang interaksinya akan selalu terhubung dengan yang berbeda karena perbedaan itu sebuah keniscayaan dan begitu indah. 


“Kita ini sebuah komunitas kecil di Magelang tetapi kita gelorakan semangat ini secara nasional,” tandasnya. 


Lahirkan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Magelang

Lurah Jamaah Kopdariyah, Adhang Legowo menambahkan komunitas yang berdiri sejak lima tahun ini mempunyai dua strategi untuk memerangi hoaks yang beredar di media sosial. Yang pertama dengan menangkal hoaks di medsos dengan meluruskan berita sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang benar, tidak mudah terpancing isu-isu provokasi dan hasutan yang tak bertanggung jawab.


Strategi ini menjadi tanggung jawab aktivis Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), yang memiliki ilmunya. Mafindo dianggap perlu untuk menangkal hoaks melalui media sosial yang terlibat adalah anak-anak muda yang berkecimpung di media sosial. 


Mafindo adalah komunitas anti-hoaks yang telah resmi menjadi lembaga nirlaba yang sah secara hukum pada 1 Desember 2016 dibuat oleh Harry Sufehmi dan diresmikan oleh Judith Lubis, Catharina Widyasrini, Ariwibowo Sasmito, Eko Juniarto, Fasial Aditya, dan Septiaji Eko Nugroho.


Saat ini Mafindo terdiri dari 95.000 anggota daring, memiliki lebih dari 1.000 relawan, dan lebih dari 20 cabang di berbagai penjuru dunia. Mafindo juga mempunyai tim profesional dalam melakukan tugasnya. 


“Komunitas ini yang melahirkan Mafindo dengan profesi masing-masing dan tidak terikat secara formal menjadi bagian dari organisasi apa pun,” tutur adik kandung Katib Aam PBNU KH Said Asrori itu.


Kopi darat tak sekadar jagongan 

Stategi kedua dengan kopi darat forum tertinggi Jamaah Kopdariyah sebab sejumlah pemuka agama, tokoh masyarakat, aktivis bahkan para pejabat menyempatkan hadir untuk menyikapi isu-isu aktual yang dapat memecah belah persatuan.


Komunitas tidak memiliki struktur resmi kepengurusan namun kontribusinya sudah nyata teutama dalam memerangi hoaks dan membangun kerukunan umat beragama di wilayah Magelang Raya.


Paulus Agung Pramudyanto menyebutkan tak cukup hanya kampanye di dunia maya, kopi darat sebagai salah satu solusi yang cukup efektif bila terjadi perbedaan pendapat atau pandangan termasuk munculnya hoaks yang mengancam kerukunan umat beragama. 


Bagi Paulus, kegiatan kopi darat ini dianggap menjadi cara paling efektif untuk tabayun mencari kejelasan tentang suatu persoalan agar berita hoaks yang bertebaran tidak menimbulkan fitnah antarumat beragama.


Pertemuan yang awalnya dikemas dalam bentuk jagongan ringan itu semakin banyak melibatkan tokoh penting di antaranya, Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf, Cendekiawan Muslim Ulil Abshar Abdalla, Romo Benny Susetyo, Jaringan Gusdurian Alissa Wahid.


Jamkop cerminan dari masyarakat Pancasila

Jamaah Kopdariyah merupakan cerminan dari masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai luhur pancasila dalam setiap kegiatan dan memberikan keteladanan dalam berdiskusi dan praktik kebangsaan. 


“Dalam forum tersebut 6 agama rukun saling berdiskusi tidak hanya ulama saja tapi masyarakat umum juga semua dianggap setara dan menjadi ruang berbagi bersama. Secara langsung dan tidak langsung saya jadi belajar bahwa agama tak menjadi sekat, semua bisa rukun, guyon bareng,” ungkap salah satu Jamaah Kopdariyah, Rizki Thoyyib. 


Penulis: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad

 

==================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI