Nasional MENIMBANG PERKARA TAMBANG

Belajar dari Negeri Jiran: Bagaimana Malaysia Mulai Tinggalkan Tambang dan Beralih ke Manufaktur?

NU Online  ·  Rabu, 18 Juni 2025 | 13:30 WIB

Belajar dari Negeri Jiran: Bagaimana Malaysia Mulai Tinggalkan Tambang dan Beralih ke Manufaktur?

Ilustrasi industri manufaktur. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Pemerintah Malaysia secara resmi mengalihkan haluan ekonomi nasional dari ketergantungan pada industri ekstraktif menuju sektor manufaktur dan jasa bernilai tambah tinggi. Kebijakan strategis ini tertuang dalam dokumen New Industrial Masterplan 2030 (NIMP 2030) yang diterbitkan September 2023, menandai babak baru transformasi industri negara tersebut.


Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyebut sektor manufaktur sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi negara dengan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari dua juta orang.


“Sektor manufaktur merupakan kekuatan penting yang mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Malaysia, karena memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB negara, menyediakan lapangan kerja bagi 2,7 juta orang,” ujar Anwar pada peresmian NIMP 2030 di MITI Tower, Kuala Lumpur pada 1 September 2023 lalu.


NIMP 2030 secara eksplisit mengecualikan sektor pertambangan dan penggalian dari fokus pengembangan industri. Hal ini mengisyaratkan komitmen Malaysia untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam. Langkah ini sejalan dengan tren global di mana negara-negara kaya mineral mulai beralih ke industri berbasis teknologi dan pengetahuan.  


Sejarah Malaysia sebagai produsen timah terkemuka dunia yang menyumbang 40 persen produksi global pada masa kejayaannya kini tinggal kenangan. Kota-kota tambang seperti Ipoh di Perak yang pernah menjadi pusat ekonomi, berubah menjadi kota wisata sejarah setelah industri timah kolaps pada 1980-an. Ipoh yang kini berubah menjadi destinasi wisata kreatif menunjukkan bahwa wilayah pertambangan yang telah mati bisa tetap memiliki masa depan dengan bertransformasi sesuai potensi bentang alamnya.
 

4 strategi Malaysia ubah tambang
  
Pertama, kebijakan look east policy (LEP). Perdana Menteri Malaysia keempat Mahathir Mohamad mengubah arah kebijakan politik luar negerinya yang dikenal dengan Look East Policy pada 9 Februari 1982. LEP yang secara harfiah bermakna "melihat ke timur" dapat diartikan Malaysia mencontoh hal positif negara-negara Asia Timur, seperti Jepang dan Korea Selatan salah satunya dalam etos kerja yang tinggi. Untuk tujuan ini, Malaysia mengirim mahasiswa mereka ke Jepang untuk mempelajari hal akademis dan teknis serta menerapkan etika kerja dan disiplin orang Jepang.


Dalam siaran langsung dialog dalam rangka Peringatan 40 tahun Look East Policy pada 18 Mei 2022 lalu, Mahathir Mohamad menjelaskan alasannya mengapa memilih Timur sebagai acuan, dari pada Barat yang mungkin lebih familiar bagi Malaysia karena warisan kolonialisme.


“Saya sangat menyadari bahwa Barat saat itu sedang mengalami kemunduran. Industri mereka tidak begitu kompetitif karena etika kerja dan praktik ketenagakerjaan,” ujar Mahathir sebagaimana disiarkan melalui kanal Youtube Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia yang dikutip NU Online pada Rabu (18/6/2025).


Mahathir menyebut bahwa hal tersebut menimbulkan hambatan dalam kemajuan Barat sehingga Malaysia sebagai negara dunia ketiga tidak lagi tertarik menjadikan mereka sebagai model negara maju.


Berbeda dengan Barat, Jepang sebagai representasi Timur menunjukkan hal yang menarik tentang kebangkitan mereka dari lumpuhnya ekonomi akibat Perang Dunia Kedua.


“Melihat kemampuannya untuk bangkit dari kehancuran tersebut, tentu saja Malaysia yang tidak berada dalam kondisi yang tragis dan bahkan dikaruniai banyak sumber daya alam akan mampu meniru keberhasilan tersebut,” ujar Mahathir.


“Yang dibutuhkan Malaysia hanyalah perubahan kebijakan dan mengadopsi satu atau beberapa negara yang dapat dijadikan model dalam memetakan kemajuan dan upaya ekonominya” imbuhnya.


Beberapa hasil nyata dari LEP ini adalah mobil nasional Malaysia, Proton (Perusahaan Otomobil Nasional), baja via HICOM, dan dibentuknya Zona Perdagangan Bebas (free trade zone) untuk menarik investasi asing.


Kedua, multimedia super corridor (MSC) dan vision 2020. MSC merupakan sebuah wilayah seluas 15 x 50 km yang terletak di selatan Kuala Lumpur. MSC diluncurkan pada 1 Agustus 1996 sebagai taman uji raksasa teknologi multimedia seperti Silicon Valley, San Francisco, Amerika Serikat.


Selain itu, MSC juga sebagai media evolusi cara hidup masyarakat dalam era terbuka informasi dan pengetahuan. Wilayah ini mencakup Kuala Lumpur City Centre (KLCC), Menara Kembar Petronas, Kuala Lumpur International Airport (KLIA), serta tempat tinggal masyarakat di sana. 


MSC didesain untuk menyongsong Vision 2020, yakni pelaksanaan masyarakat teknologi dan ekonomi maju melalui industrialisasi. Saat ini, MSC menghadirkan beberapa perusahaan rintisan dengan layanan skala regional seperti Grab dan Carsome.


Ketiga, inovasi bidang jasa dan pariwisata. Pada 25 Oktober 2010, Perdana Menteri Najib Razak meluncurkan kebijakan Economic Transformation Program (ETP) yang bertujuan untuk menjadikan Malaysia sebagai negara berpendapatan tinggi di tahun 2020. Melalui kebijakan ini, beberapa kampanye digencarkan dalam bidang pariwisata, kesehatan, dan perbankan.


Narasi Malaysia Truly Asia digencarkan untuk menarik wisatawan asing dan meningkatkan pendapatan di sektor pariwisata. Tidak hanya bersifat sementara dan bergema saat peluncuran, kampanye ini masih terus berlanjut hingga saat ini dan mengantarkan kota-kota seperti Bukit Bintang, Johor Bahru, Penang, dan Kuala Lumpur menunjukkan ciri khas dan keunikan sebagai destinasi pariwisata.


Selain itu, adanya kebijakan ini juga mendorong infrastruktur kesehatan yang canggih dengan harga murah. Tren berobat ke Malaysia menjadi hal yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan karena tersedianya rumah sakit kelas dunia dengan biaya yang lebih terjangkau.


Keempat, National Energy Transition Roadmap (NETR) 2023. Kebijakan ini disusun untuk mengurangi ketergantungan pendapatan negara yang bersumber dari minyak dan gas. Beberapa langkah yang ditempuh oleh Malaysia antara lain berinvestasi di energi terbarukan (surya, hidro), mengembangkan rantai pasokan kendaraan listrik dan semikonduktor, dan inovasi Petronas beralih ke energi bersih.  


Minyak dan gas kini hanya menyumbang sebesar 20 persen dari pendapatan pemerintah, yang sebelumnya mencapai 40 persen pada tahun 2009. Selain itu, menurut data The Observatory of Economic Complexity (OEC) pada tahun 2023 di antara tiga eksportir terbesar yakni Tiongkok, Malaysia, dan Jepang, Malaysia menempati urutan kedua sebagai pengekspor semikonduktor global.


Kebijakan National Energy Transition Roadmap (NETR) 2023 menghadapi ujian besar dalam menyeimbangkan target energi terbarukan dengan kebutuhan investasi di sektor hilir mineral strategis seperti logam tanah jarang untuk industri baterai dan kendaraan listrik.  


Menariknya, Malaysia justru menunjukkan minat baru pada pertambangan logam tanah jarang, yaitu logam tanah umumnya dijumpai dalam sebaran dengan jumlah yang tidak besar dan menyebar secara terbatas, seperti halnya thulium (Tm) dan lutetium (Lu) merupakan dua unsur yang terkecil kelimpahannya di dalam kerak bumi tetapi  200 kali lebih banyak dibandingkan kelimpahan emas (Au). Meskipun demikian  unsur-unsur tersebut sangat sukar untuk ditambang karena konsentrasinya  tidak cukup tinggi untuk ditambang secara ekonomis. Ketujuh belas unsur logamini mempunyai banyak kemiripan sifat dan sering ditemukan bersama- sama dalam satu endapan secara geologi.


Pemerintah Malaysia perlu mengumpulkan pendapatan pertambangan yang diperoleh dan disalurkan untuk tujuan pembangunan seperti investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Hal ini juga bisa disalurkan dalam infrastruktur untuk menjamin bahwa sumber daya mineral negara tidak dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang, tetapi untuk kebaikan negara yang lebih besar (Yean: 2023).
 

Pengalaman Malaysia menunjukkan transisi ekonomi pada negara berkembang yang kaya akan sumber mineral membutuhkan konsistensi kebijakan, investasi di SDM, dan keberanian untuk meninggalkan model lama meski berisiko. Tantangan terbesarnya kini adalah memastikan bahwa transformasi industri benar-benar inklusif dan berkelanjutan.