Nasional

Dampak dan Fungsi Pantun Pejabat dalam Pidato Menurut Akademisi

Sabtu, 17 Agustus 2024 | 16:00 WIB

Dampak dan Fungsi Pantun Pejabat dalam Pidato Menurut Akademisi

Ketua MPR RI saat berpidato dan menyelipkan sejumlah pantun dalam pidatonya pada Jumat (16/8/2024). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube TV Parlemen)

Jakarta, NU Online

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyelipkan dalam pidatonya pada Pembukaan Sidang Terbuka MPR RI bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Jumat (16/8/2024).


Tren pembacaan pantun dalam setiap acara formal belakangan menjadi hal yang kerap dilakukan oleh para pejabat. 


Biasanya, para pejabat akan membacakan pantun pada penghujung pidatonya. Namun, hal berbeda dilakukan oleh Bamsoet. 


Setiap berganti topik bahasan dalam pidatonya ia menyelipkan 1-2 pantun sehingga total 12 pantun dibacakannya sejak permulaan hingga ujung pidatonya.


Dosen Prodi Sastra Indonesia Universitas Indonesia Maman S Mahayana menanggapi kian maraknya tren pejabat yang gemar berpantun dalam berbagai kesempatan formal.


"Secara sosiologis, tentu saja pembacaan pantun yang dilakukan para pejabat negara akan berdampak luas. Setidaknya, masyarakat tidak lagi menganggap, bahwa pantun—dan puisi secara umum, cuma milik para pemantun dan penyair," kata Maman.


Menurutnya, hal tersebut akan membuat citra pantun lebih hidup dan naik daun di kalangan masyarakat dari yang sebelumnya hanya diperlakukan sebagai puisi tradisional.


Dalam pantun-pantun yang dibacakan Bamsoet, terdapat kata-kata yang diperlakukan seolah sebagai simbol atas makna tertentu seperti beringin dan solo yang diulang dalam dua pantun berbeda.


Maman menjelaskan bahwa permainan metafora, simbolis, dan repetisi dalam sebuah puisi terikat seperti pantun penting dilakukan agar pesan tersampaikan meski dalam bentuk kalimat yang pendek-pendek.


Oleh karena itu, sangat mungkin pantun yang disampaikan oleh Bamsoet mengandung makna tertentu yang disampaikan secara tersirat.


"Dalam dunia pantun, cara penyampaian pesan yang implisit itu, justru menempatkannya sebagai pantun yang baik dan orang akan menafsirkan pesan itu menurut persepsinya. Apakah persepsinya tepat atau tidak, benar atau salah, tidak jadi soal," jelas Maman.


Namun, Maman menyayangkan bahwa penggunaan pantun di kalangan pejabat seringkali mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam penulisan pantun.


Melansir dari situs resmi KWRIU, pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO di Paris, Perancis sejak (17/12/2020).


Sebagaimana dilansir dari laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, pantun merupakan puisi terikat yang memiliki aturan jelas dalam penulisannya, antara lain satu bait pantun terdiri dari empat larik dengan persajakan a-b-a-b, dua larik pertama berupa sampiran dan dua larik berikutnya berupa isi. Jumlah suku kata dalam setiap larik, proporsional 12—15 suku kata.


Para pejabat kerap kali membacakan pantun yang mendobrak aturan ini. Misalnya, pada salah satu pantun Bamsoet yang jomplang jumlah suku katanya.

Dari Solo ke Istana Negara lewat tol Cipali
Jangan lupa membawa serabi
Terima kasih untuk Pak Jokowi
Langkahmu akan dilanjutkan Pak Prabowo dalam membangun negeri


Bagian akhir pantun berisi 21 suku kata yang berarti melebihi aturan penulisan pantun.


Maman mengatakan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan itu tidak berarti pantun mengalami perkembangan bentuk atau sebagai kebebasan berkreasi (licentia poetica).


"Keunikan pantun—sehingga diakui Unesco sebagai warisan budaya takbenda— yang tidak dimiliki puisi tradisional negara lain di dunia ini justru lantaran adanya persyaratan itu," tegas Sastrawan kelahiran Cirebon ini.


Kendati demikian, pemanfaatan pantun dalam acara resmi seperti yang dilakukan para pejabat dianggap mampu menciptakan suasana agar tidak kaku, tegang, monoton, dan yang lebih cair. 


"Itulah fungsi pantun! Pantun tidak mengubah konten, tidak mengubah ragam bahasa yang digunakan. Fungsinya sekadar menjadikan suasana lebih variatif, lebih luwes, lebih nyaman. Itulah kelebihan dan keunikan pantun!," pungkasnya.