Nasional

Halaqah Fiqih Peradaban, Langkah NU Jaga Umat dari Ancaman Sosial Politik

Rabu, 27 Desember 2023 | 21:00 WIB

Halaqah Fiqih Peradaban, Langkah NU Jaga Umat dari Ancaman Sosial Politik

Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev saat berbicara pada Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom Desa Angsanah, Palenga'an, Pamekasan, Jawa Timur, Ahad (24/12/2023). (Foto: istimewa)

Pamekasan, NU Online

Halaqah Fiqih Peradaban digelar dalam rangka menginspirasi Nahdliyin dalam mengembangkan isu muktahir. Sebab, potensi ancaman pada suatu negara, bisa muncul kapan saja jika tidak pandai menyikapi perkembangan muktahir. Karenanya, Halaqah Fiqih Peradaban mengangkat tema 'Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik'.


Hal tersebut disampaikan Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Ariev saat mengisi Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom Desa Angsanah, Palenga'an, Pamekasan, Jawa Timur, Ahad (24/12/2023).


Dalam kesempatan itu, Kiai Hodrie mengajak kepada masyayikh untuk memperhatikan isu-isu muktahir. Jangan sampai yang dilakukan muassis berubah hanya untuk kepentingan musiman atau bukan kepentingan jangka panjang. Isu kebangsaan dan kenegaraan merawat kebersamaan dan persatuan harus dijaga antarsesama. 


"Setiap potensi perpecahan harus dilawan. Setiap potensi yang dapat mejauhkan kita harus dilawan. Perlawanan ini, saya rasa buah dari ijtihad ulama yang sejak lama lebih mempertimbangkan kebersamaan, kedamaian untuk bangsa kita sebagaimana dilansir banyak riwayat," ujarnya.


Ia menegaskan, muassis NU tidak serta-merta mendirikan jam'iyah. Sebelum didirikan, banyak proses pertemuan, istikharah, hingga puncaknya ditetapkan sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah. Artinya, proses ijtihad yang dilaluinya adalah bentuk kehati-hatian saat mendirikan NU, termasuk pula kehati-hatiannya saat memutuskan persoalan politik kebangsaan.


"Apa yang kita ditemukan pada saat ini, yakni cara berpolitik kebangsaan itu merupakan pedoman yang mengutamakan keutuhan bangsa daripada sekedar merebut kekuasaan. Inilah yang mejadi pembeda antara NU dengan organisasi lainnya," ungkap alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk ini.


Perlawanan ulama NU dari masa ke masa

Sejarah mencatat, lanjutnya, ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, wilayah yang dulu menjadi kekuasaannya pecah menjadi negara-negara kecil. Islam tradisionalis yang senantiasa melestarikan amaliyahnya, seperti bermazhab, bershalawat, dan sejenisnya pun disudutkan.


Tafsir sejarah KH Abdul Wahab Chasbullah melihat penguasa baru Arab Saudi itu dari sisi kelayakannya dalam memimpin dunia Islam. Pada saat itu, lanjutnya, ulama Indonesia mempengaruhi pemimpin Arab. Dan ini merupakan hal yang luar biasa, pasalnya semua wilayah yang masuk dalam kekuasaan Turki Utsmani pecah menjadi negara sebagai identitas politik. 


"Pecahan dari Turki Utsmani, ada yang jadi kerajaan Islam, Republik Islam. Hemat saya, seakan-akan mejadi representasi kehadiran Islam tapi kenyataannya negara-negara Islam berperang atas nama agama, sedangkan di Indonesia, para muassis NU lebih mendukung berdirinya bangsa," tuturnya.


Dijelaskan, muassis memilih berdirinya negara bangsa sebagai suatu ijtihad yang logis. Padahal sebelumnya tahu banyak kerajaan Islam Nusantara yang mewariskan pemikiran politik pada generasi selanjutnya. 


"Mengapa memiliki negara bangsa? Keputusan mengacu pada banyak kasus. Ketika Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari memfatwakan Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian di Situbondo menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan memutuskan Indonesia pilar berbangsa dan bernegara. Ini bentuk natijah dari ijtihad ulama dalam bidang sosial politik," terangnya. 


"Kendati semuanya ditetapkan, apakah memberikan keamanan? Kami melihat putusan para masyayikh yang didasari pada maqasid bukan pada prosesnya. Artinya isu-isu teoritis yang muncul belakang sekitar tahun 1980 an, praktik ulama NU sudah muncul jauh sebelumnya yang mempertimbangkan naskah-naskah teks," sambungnya.


Menurut Kiai Hodri, secara teoritis yang dilakukan muassis sudah maju. Untuk membandingkannya bisa dilihat pada tahun 1989. Di mana para ulama memutuskan trilogy ukhuwah. Yang kemudian pada tahun berikutkan diakui dan digaungkan oleh Vatikan. Artinya, muassis sudah merumuskan pemikiran itu yang sangat kuat pada maqasid dan melampaui kelompok-kelompok baru. 


"Dengan demikian, negara yang kita miliki merupakan hasil ijtihad ulama, sehingga isu-isu yang berkaitan dengan kebangsaan tentu merupakan hal yang menjadi tanggung jawab kita mempertahankan. Isu ini tidak hangat tapi menjadi isu mutakhir. Natijah yang disampaikan muassis hakikatnya ingin mewujudkan Islam sebagaimana disampaikan oleh Nabi," tandasnya.