Nasional

KH Miftachul Akhyar Bagikan Cara agar Tidak Menyesal di Kemudian Hari

Selasa, 13 Juni 2023 | 19:30 WIB

KH Miftachul Akhyar Bagikan Cara agar Tidak Menyesal di Kemudian Hari

Rais 'Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Dalam menjalani kehidupan jangan terlalu berfokus pada apa yang akan terjadi dan apa yang telah terjadi, tetapi harus fokus dengan waktu sekarang, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

 

Hal tersebut diungkapkan oleh Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar pada Ngaji Syarah Al-Hikam Pertemuan ke-37 diakses oleh NU Online pada Selasa (13/6/2023).

 

“Sekarang ini jam 2, apa yang ada pada diri kita, apa yang sedang kita lakukan dari kebaikan-kebaikan, yaitu saja. Tidak usah mikir setelah ngaji, nanti sore, nanti malam, ya nanti-nanti. Ini bagi para muridin, para salikin adalah cara untuk bisa segera wushul ila Allah,” ujarnya.

 

Ia menjelaskan bahwa maksudnya adalah memusatkan pikiran, konsentrasi terhadap apa yang sedang dikerjakan, jangan menunda-nunda nanti.

 

“Senjata setan agar kita lengah, itu membisikkan dengan bisikan nanti saja, masih ada waktunya, kamu masih muda kalau sudah setengah tua baru rajin. Jadi nanti saja, besok saja, kapan-kapan, itu salah satu racun-racunnya setan yang dibisikkan kepada kita,” terang Kiai Miftach.

 

Kia Miftach mengingatkan agar tidak melakukan hal demikian, jika tidak ingin menyesal dalam hidup. Ia mengatakan banyak orang setelah tua menyesal, sebab dulu waktu mudanya tidak dimanfaatkan dengan baik, sementara itu waktu tidak bisa diulang kembali.

 

“Penyesalan memang di belakang. Oleh karena itu Islam mengingatkan supaya jangan terjadi penyesalan di kemudian hari, karena penyesalan nggak punya arti, kecuali penyesalan yang membangkitkan semangat. Tetapi seberapa semangat itu bisa dilakukan? nggak bisa seratus persen, nggak bisa seperti dulu-dulu, suara sudah lemah, mata sudah harus memakai kacamata, kadang kacamata nggak cukup,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya tersebut.

 

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa menurut pendapat para ulama matahari ketika menjelang maghrib menjadi redup, lalu warnanya kemerah-merahan, pucat, dan hawanya berkurang, itu merupakan tanda bahwa matahari ketakutan, khawatir bahwa itu adalah hari terakhir. Begitu juga dengan pohon-pohon ketika menjelang sore daunnya merunduk.

 

“Masa kita kalah dengan 2 makhluk Allah tersebut, kita ini lakon, kita ini pegang peran penting. Oleh karena itu pastikan hari ini apa tugas kita, apa kewajiban kita ini, jangan mikir yang untuk besok, karena mikir untuk besok ini akibatnya memutus murokabah kita kepada Allah, karena apa? Hari ini anugerah Allah, harus kita lakukan, harus kita laksanakan sekaligus kita mensyukurinya, sedang besok nggak tentu, nggak ada jaminan kita bisa ketemu dengan besok,” terang Kiai Miftach.

 

Kemudian ia menceritakan tentang Rasulullah SAW  yang merupakan makhluk terbaik dan makhluk utama. Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah bertayamum di tempat duduknya, padahal ada air kira-kira 10 meter. Sehingga sahabat bertanya kenapa tayamum, apakah ada syariat baru yang turun. Lalu Rasulullah menjawab, kalau saya ke tempat tersebut tidak yakin apakah nyawa saya masih sampai, kalau jalan ke sana apakah saya masih hidup.

 

“Itu Rasulullah SAW, saking semua terisi waktunya dengan sempurna. Jadi intinya kita mengisi kehidupan di dunia ini, kita posisikan diri kita sebagai abnaul waqti. Itupun menurut apa yang sudah diatur oleh syariat, apa yang menurut syariat, apa yang diperintah, apa yang dianjurkan, menjauhi apa yang dilarang syariat, bukan berarti kita mengisi waktu itu terserah, ada aturan-aturannya, ada tata tertibnya,” pungkasnya.

 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Aiz Luthfi