Nasional

Kiai Achmad Chalwani Kisahkan Tirakat Para Kiai

Kamis, 15 Juli 2021 | 03:00 WIB

Kiai Achmad Chalwani Kisahkan Tirakat Para Kiai

Foto: Pesantren Annawawi Barjan, Purworejo

Purworejo, NU Online

Di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi, ada orang alim ‘allamah yang masih keturunan Syekh Arsyad Banjar. Ia adalah Tuan Guru Ayah Ali bin bin Abdul Wahab, santri Syekh Yasin Padang. Ia belajar agama Islam di Makkah dalam waktu yang lama. Sepulang dari Makkah, Tuan Guru Ayah Ali ini dikenal sebagai guru di kampung-kampung, ustadz.

 

Selain itu ia juga  membuka toko kitab, dinamai Toko Asia-Afrika. Mendengar bahwa di Purworejo, Jawa Tengah ada seorang Khalifah Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah bernama KH Nawawi, Tuan Guru Ayah Ali tertarik ingin masuk tarekat. ​​​​​Berangkatlah ia ke Purworejo, diantarkan Ustadz Tauhidullah dari Tanjung Jabung. Sampai ke Berjan dan bertemu Kiai Nawawi, Tuan Guru Ayah Ali berkata, "Kiai, saya minta ditalqin, dibaiat tarekat, Kiai."

 

Mendengar itu, Kiai Nawawi menjawab, "Ayah Ali, di Jawa ini masih ada kiai tarekat yang lebalim dari saya, yang lebih pantas membaiat Anda. Beliau adalah KH Muslih, Mranggen, Demak, Semarang. Silakan ke Mranggen saja."


Berangkatlah Ayah Ali dari Purworejo ke Mranggen, naik bus umum. Sampai Mranggen bertemu Kiai Muslih, minta ditalqin, dibaiat. Apa kata Kiai Muslih? Kiai Muslih bilang, "Ayah Ali, di Jawa masih ada guru tarekat yang lebih alim dari saya, yang lebih berhak membaiat Ayah Ali."


"Siapa, Kiai?” tanya Ayah Ali.


"Kiai Hafidz Rembang. Silakan ke Rembang saja," jawa Kiai Muslih.


Kemudian berangkatlah Ayah Ali dari Mranggen ke Rembang menemui Kiai Hafidz, ayah Kiai Wahab, untuk minta ditalqin. Apa kata Kiai Hafidz?

 

"Oh, masih ada yang lebih ‘alim dari saya, yang lebih berhak membaiat Anda."

 

"Siapa?”

 

"Kiai Adlan Ali, Cukir, Jombang. Ke Cukir saja," kata Kiai Hafidz.
 

Berangkatlah Ayah Ali dari Rembang ke Cukir, Jombang. Begitu bertemu Kiai Adlan, Ayah Ali menyampaikan keinginannya untuk ditalqin atau dibaiat tarekat. Tetapi Kiai Adlan bilang, "Yang lebih berhak itu Kiai Nawawi Purworejo, bukan saya. Silakan ke Purworejo."

 

Menerima arahan itu, Ayah Ali pun kembali ke Purworejo dan bercerita kepada Kiai Nawawi, "Saya sudah thawaf ke mana-mana, saya disuruh ke mana lagi ini?"

 

Barulah Ayah Ali ditalqin oleh Kiai Nawawi.

 

Cerita itu disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Annawawi Berjan Purworejo yang juga Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, KH Achmad Chalwani dalam tayangan Kisah Tirakat Para Kiai di kanal YouTube NU Online.

 

Kisah itu mengandung pesan pentingnya riyadhah dan mujahadah bagi penuntut ilmu. "Jadi, orang menuntut ilmu itu ada riyadlah, ada mujahadah. Kalau ilmu tidak pakai mujahadah, tidak masuk di hati, cuma di otak saja. Maka ada riyadlah," kata Kiai Achmad Chalwani.

 

Bukan satu dua kiai saja yang mengerjakan laku riyadhah. KH Abdul Karim, Lirboyo, lanjut Kiai Chalwani yang dulu bernama Kiai Manap, kelahiran Banar, Mungkid, Magelang, mondok pertama di Sono, Nganjuk. Satu tahun di pondok belum diajar mengaji. Satu tahun itu, oleh kiainya dikasih tugas memandikan kuda, mencari rumput untuk kudanya.

 

"Satu tahun, tidak protes. Belum diajar mengaji tidak protes," kata Kiai Chalwani.

 
Berbeda dengan anak sekarang, lanjut Kiai Chalwani yang kadang-kadang sudah di pesantren setengah bulan belum diajari lalu memprotes, "Apa Pak Kiai enggak pintar mengaji, ya?"

 

Pentingnya riyadhah telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Jumuah ayat 2 yang artinya, "Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

 

"Jadi, ada proses ilmu itu. Sebelum yu’allim ada yuzakki, tazkiyah. Tidak langsung transfer ilmu, (tapi) tazkiyah (dulu). Memandikan kudanya kiai termasuk tazkiyah itu. Di Lirboyo ada kerja bakti (ro’an) dan mencabut rumput (matun), itu tazkiyah. Orang menuntut ilmu tidak pakai tazkiyah, riyadlah, tirakat, maaf, ilmu tidak masuk di hati, cuma singgah di otak saja. Kalau cuma di otak saja kan cuma bikin mencurangi teman," lanjut Kiai Chalwani.

 

Namun sekarang banyak orang yang maunya instan, tidak mau ke pesantren, mengajinya di YouTube. "Itu tidak tazkiyah. Out put-nya cuma intelektual, tapi tidak sampai di hati. Nilai keagamaannya tidak meresap ke hati, cuma pintar saja. Intelektual tidak mesti berbanding lurus dengan kemampuan spiritual," jelas Kiai Chalwani.

 

"Seperti di Al-Qur'an tadi, yuzakki dulu, tazkiyah, baru yu’allim, transfer ilmu. Maka, di pesantren kalau mau mengaji berdoa dulu: Ya fattahu ya 'alimu. Jangan dibalik Ya ‘alimu ya fattahu. Ya Fattahu buka hati: tazkiyah, baru Ya ‘Alimu, transfer ilmu," sambung Kiai Chalwani. 
 

 

Disebutkan, tazkiyatun nafs ulama-ulama terdulu contohnya ada riyadlah puasa Senin-Kamis, ada puasa Nabi Dawud, ada yang tidak makan nasi (ngerowot). "Hal ini sampai di dunia modern masih tetap diperlukan, tidak sekadar cerita-cerita orang dulu. Termasuk tazkiyah itu rajin shalat berjamaah, tetapi tidak hanya shalat berjamaah saja," tegasnya. 

 

Kontributor: Achmad Naufa Khoirul Faizin
Editor: Kendi Setiawan