Nasional

KPAI Rekomendasikan Pelatihan Kemampuan Mediasi untuk Tangani Kekerasan di Satuan Pendidikan

Selasa, 30 Juli 2024 | 16:16 WIB

KPAI Rekomendasikan Pelatihan Kemampuan Mediasi untuk Tangani Kekerasan di Satuan Pendidikan

Foto bersama dalam Sarasehan Pendidikan Dalam Rangka Memperingati Hari Anak Indonesia 2024 sekaligus Pengukuhan Pimpinan Wilayah (PW) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jakarta di kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Sabtu (27/7/2024). (Foto: dok. Pergunu Jakarta)

Jakarta, NU Online

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendibudristek) agar tim Pencehagan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) mendapatkan pelatihan untuk menangani berbagai kasus kekerasan. Termasuk dilatih untuk menguasai kemampuan mediasi.


Hal itu disampaikan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono saat menyampaikan materi pada Sarasehan Pendidikan Dalam Rangka Memperingati Hari Anak Indonesia 2024 sekaligus Pengukuhan Pimpinan Wilayah (PW) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jakarta di kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Sabtu (27/7/2024).  


“Mestinya mendapat pelatihan. Tim PPKSP setidaknya dilatih KHA (Konvensi Hak Anak), dilatih asesmen psikologi biar tahu mental anak, dilatih tentang SRA (sekolah ramah anak), dilatih tentang kemampuan dasar mediasi,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Pegunu itu.


Kebutuhan tim mediasi bertujuan agar dapat menangani kasus anak kategori profesional. Situasinya saat ini, seringkali orang tua peserta didik menuntut keadilan melampaui kadar pelanggaran.


Hal itulah, menurut Aris, dibutuhkan tim mediasi yang sudah terlatih untuk menangani berbagai kasus demi mencegah kasus diviralkan di media sosial.  


“Kadang ada kasus setelah dianalisa oleh tim PPKSP, kasus dianggap ringan atau sedang, untuk penyelesaiannya cukup dengan musyawarah. Keadilannya tetap dijunjung, ganti ruginya tetap diberikan, konsekuensi kepada pelaku tetap dijalankan. Karena tim mediasi tidak dibekali kompetensi mediasi mengakibatkan cara penyelesaiannya tidak tepat. Itu bisa berakibat diviralkan,” ungkap Aris.


Aris kemudian menjelaskan, kesalahan dalam menangani kasus ketika mediasi menyebabkan orang tua korban langsung lapor ke polisi. Padahal kasus seharusnya dapat diselesaikan di sekolah.


Itu semua, menurut Aris, berawal dari tim yang tidak dibekali kompetensi mediasi. Apabila tim dibekali kompetensi mediasi, cara penyelesaiannya tepat dan melakukan mediasi dalam forum musyawarah maka akan menemukan keadilannya.      

   
Di sisi lain, Aris berharap kekerasan di satuan pendidikan dapat dicegah sedini mungkin dengan cara memunculkan mental anak untuk percaya diri dan memahami bahwa kekerasan merugikan dirinya sendiri. Karena itu, sangat penting untuk mulai memberikan edukasi terhadap anak tentang kekerasan dan dampak-dampaknya.


Sementara untuk menghadapi peserta didik yang terus menerus melanggar ketertiban sekolah, padahal sudah ditangani oleh guru bimbingan konseling (BK) tetapi tetap tidak ada perubahan positif, maka perlu mendatangkan ahli psikologi.  


“Misalkan bapak-ibu menghadapi anak. Anak ini sudah dinasihati bolak-balik tapi tetap nggak mau ke sekolah, tetap sering melanggar tata tertib. Nah ini kalau dilihat dari kacamata guru saja, guru BK nggak cukup, kesiswaan tidak cukup, maka perlu mendatangkan psikolog profesional untuk mencegah kebablasan tindakan yang tidak baik itu," jelas Aris.


Meski begitu, Aris menyakini bahwa para guru juga mampu menangani peserta didik yang demikian. Namun, dalam kondisi tertentu dan melihat kondisi peserta didik yang tak kunjung ada perubahan positif, maka langkah yang harus ditempuh adalah melalui psikolog profesional.


“Di layanan inilah jarang diakses, sehingga sekolah merasa sendirian untuk menangani berbagai perilaku tidak baik peserta didik. Maka mulai dari sekarang manfaatkan satgas, untuk koordinasi dan melihat sekolah terkait kondisinya,” kata Aris.