Penjelasan Shalawat Nariyah (3)
NU Online · Kamis, 29 September 2016 | 04:02 WIB
Shalawat Nariyah ditolak sebagian kalangan karena mengandung unsur tawassul. Menjawab tudingan tersebut, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Maruf Khozin mengatakan, berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya, (HR At-Tirmidzi).
Lalu, lanjut Kiai Maruf, oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).
“Dari sini banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan,” katanya kepada NU Online Rabu (28/9).
Kiai Ma’ruf menyebutkan pendapat para ulama yang memperbolehkan tawasul tersebut:
أَوَّلُهَا : أَنْيَسْأَلَاللّهَبِالْمُتَوَسَّلِبِهِتَفْرِيْجَالْكُرْبَةِ،وَلَايَسْأَلَالْمُتَوَسَّلَبِهِشَيْئاً،كَقَوْلِالْقَائِلِ : اللَّهُمَّبِجَاهِرَسُوْلِكَفَرِّجْكُرْبَتِي . وَهُوَعَلَىهَذَاسَائِلٌللّهِوَحْدَهُ،وَمُسْتَغِيْثٌبِهِ،وَلَيْسَمُسْتَغِيْثاًبِالْمُتَوَسَّلِبِهِ . وَقَدِاتَّفَقَالْفُقَهَاءُعَلَىأَنَّهَذِهِالصُّوْرَةَلَيْسَتْشِرْكاً،لِأَنَّهَااسْتِغَاثَةٌبِاللّهِتَبَارَكَوَتَعَالَى،وَلَيْسَتْاسْتِغَاثَةًبِالْمُتَوَسَّلِبِهِ؛وَلَكِنَّهُمْاخْتَلَفُوْافِيالْمَسْأَلَةِمِنْحَيْثُالْحِلُّوَالْحُرْمَةُعَلَىثَلَاثَةِأَقْوَالٍ : الْقَوْلُالْأَوَّلُ : جَوَازُالتَّوَسُّلِبِالْأَنْبِيَاءِوَالصَّالِحِيْنَحَالَحَيَاتِهِمْوَبَعْدَمَمَاتِهِمْ . قَالَبِهِمَالِكٌ،وَالسُّبْكِيّ،وَالْكَرْمَانِيّ،وَالنَّوَوِيّ،وَالْقَسْطَلاَّنيّ،وَالسُّمْهُوْدِيّ،وَابْنُالْحَاجِّ،وَابْنُالْجَزَرِيّ .(الموسوعةالفقهيةالكويتية - ج 5 / ص 22)
Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apa pun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara.
Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik, sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi 3 pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).
“Sementara yang melarang tawassul adalah Syaikh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
2
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
5
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
6
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
Terkini
Lihat Semua