Nasional

Perlu Kolaborasi Antarnegara Lawan Eksploitasi Anak

NU Online  ·  Jumat, 30 Mei 2025 | 16:00 WIB

Perlu Kolaborasi Antarnegara Lawan Eksploitasi Anak

Wamen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Bali, Selasa (27/5/2025). (Foto: KemenPPPA)

Jakarta, NU Online

 

Menghadapi kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak perlu dilakukan secara kolektif. Tidak saja dalam negeri, melainkan penting juga dilakukan melalui aksi bersama antarnegara dalam kawasan.

 

“Kejahatan ini lintas batas. Tidak ada satu negara pun yang bisa menanganinya sendirian. Kita perlu kekuatan kolektif kawasan untuk memastikan anak-anak kita tumbuh aman, merdeka, dan terlindungi, terutama di era digital yang semakin kompleks,” kata Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA) Veronica Tan dalam keterangan yang diterima NU Online di Jakarta pada Jumat (30/5/2025).

 

Wamen PPPA juga menyoroti pentingnya membangun sistem perlindungan yang benar-benar terintegrasi dan berorientasi pada korban. Kementerian PPPA, menurutnya, telah memperkuat sistem pelaporan dan layanan darurat melalui SAPA129, serta terus mendorong penyedia layanan di daerah untuk meningkatkan respons terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. 

 

Sistem ini dapat diakses masyarakat secara mudah melalui Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, WhatsApp di nomor 0811-129-129, aplikasi mobile, dan situs web https://laporsapa129.kemenpppa.go.id.

 

“Kita tidak bisa membiarkan ruang digital hanya diisi oleh konten negatif. Kita harus menciptakan arus balik dengan menghadirkan konten yang membangun karakter, nilai moral, dan masa depan anak-anak kita. Ini adalah bagian dari kekuatan kolektif kita,” imbuh Veronica saat membuka Child Sexual Exploitation Regional Dialogue (CSERD) yang diselenggarakan pada Selasa (27/5/2025) di Hotel Westin Nusa Dua.

 

Veronica mencontohkan isu-isu sensitif yang kini mulai terangkat ke permukaan, seperti kasus inses dalam keluarga, pernikahan anak yang dibenarkan atas nama budaya, serta melemahnya relasi antara orang tua dan anak akibat dominasi informasi digital.

 

“Ketika anak-anak dan penyintas mulai berani bicara, negara tidak boleh diam. Inilah saatnya bertindak. Forum ini adalah ruang untuk merumuskan langkah nyata bersama, bukan sekadar diskusi,” jelasnya.

 

Sementara itu, Duta Besar Australia untuk Indonesia Roderick Brazier menyampaikan bahwa Australia telah mengembangkan strategi nasional untuk melawan eksploitasi seksual anak, termasuk pembentukan ACCCE dan penerapan kebijakan batas usia minimum penggunaan media sosial guna melindungi anak-anak di ruang digital dan dunia nyata.

 

“Tidak ada satu negara pun yang kebal dari eksploitasi seksual anak. Karena itu, kami mendorong kolaborasi lebih erat antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat sipil di kawasan. Forum ini bukan hanya ruang berbagi praktik baik, tetapi deklarasi sikap kolektif untuk bertindak,” ungkap Roderick Brazier.

 

Berdasarkan data SIMFONI PPA, dari tahun 2023 hingga Juni 2024, sebanyak 15.186 anak menjadi korban kekerasan seksual, sementara 366 anak mengalami eksploitasi seksual. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mengungkap bahwa 24.049 anak berusia 10 hingga 18 tahun diduga terlibat dalam prostitusi, dengan 130.812 transaksi yang mencatat perputaran uang mencapai Rp127 miliar. Pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual memanfaatkan media sosial dan game online sebagai sarana untuk mendekati, memperdaya, dan mengeksploitasi anak-anak di dunia digital.

 

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid pentingnya peran platform digital dalam menciptakan ekosistem internet yang aman bagi anak-anak.

 

“Kami ingin platform digital mengambil peran lebih besar dalam melindungi anak-anak, dengan menjadikan keamanan sebagai standar utama serta mengembangkan teknologi yang dapat melindungi mereka dari konten negatif,” ujar Meutya Hafid.