Nasional

Songsong Satu Abad, Kiai Said: Masa Emas Indonesia Ditentukan Pandangan Keagamaan

Selasa, 22 Oktober 2019 | 23:00 WIB

Songsong Satu Abad, Kiai Said: Masa Emas Indonesia Ditentukan Pandangan Keagamaan

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam rangka Hari Santri 2019 di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Indonesia akan genap berusia satu abad pada 17 Agustus 2045 mendatang. Berbagai survei memprediksikan Negeri Zamrud Khatulistiwa itu akan menjadi negara maju dengan perekonomiannya menduduki peringkat kelima di dunia. Saat itulah menjadi masa emas negara kepulauan yang disatukan oleh lautan itu.

“Namun, cita-cita Indonesia maju, Indonesia emas, pada tahun 2045 ditentukan oleh bagaimana kita mempersiapkan di hari ini, terutama bagaimana pandangan dan sikap keagamaan kita; apakah menjadi penopang kemajuan Indonesia ataukah justru bersifat destruktif,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat memberikan Pidato Kebudayaan dalam rangka Hari Santri 2019 di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10).

Karenanya, Kiai Said mengajak seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan hubungan keagamaan dan keindonesiaan hari ini sebagai sarana menyongsong satu abad Indonesia ke depan. “Saya ingin mengejak para hadirin dan seluruh bangsa Indonesia untuk berefleksi, memikirkan dan berimaginasi tentang Islam dan Muslim serta keindonesiaan di masa-masa yang akan datang, terutama pada saat Indonesia berumur 100 tahun, yakni 2045,” ujarnya.

Hal ini, menurutnya, penting untuk disampaikan mengingat empat hal. pertama, sentimen keagamaan di ruang politik semakin menguat sejak peristiwa Pilkada Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2016 lalu. “Dimulai dari peristiwa Pilkada DKI yang melahirkan gerakan politik 212 sampai pada pemilihan presiden kemarin,” katanya.

Politik identitas pun muncul dalam rangka memanfaatkan kedangkalan pemahaman beragama. Hal itu tampaknya, jelas Kiai Said, akan terus digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik untuk meraih kekuasaannya.

Eksklusivitas, intoleransi, dan radikalisme beragama menjadi sorotan kedua Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu. Pasalnya, berbagai laporan penelitian menyebutkan peningkatan hal tersebut saban tahunnya. Mengutip Wahid Foundation, Kiai Said menyebut tahun 2017, 57,1 persen umat Islam bersikap intoleran kepada kelompok yang tidak disukai. Hal itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 51 persen. “Bahkan, sejumlah aparat sipil negara, TNI, Polri, BUMN mulai terpapar paham radikal,” katanya.
Kiai Said menceritakan bahwa hal tersebut diakui sendiri oleh Menteri Pertahanan Kabinet Kerja I Jenderal (Purn) Ryamizad Ryacudu yang menyebut ada tiga persen perwira dan prajurit TNI terpapar paham radikal.

Parahnya, eksklusifitas, intoleransi, dan radikalisme beragama ini tidak saja merusak agama, tetapi juga menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kenapa disebut merusak agama, karena pada prinsipnya Islam menghargai kebinekaan. Karena intoleransi dan radikalisme inilah, sesama anak bangsa saling mengkafirkan, saling menyalahkan, bahkan saling memusuhi,” jelasnya.
Hal lain yang menjadi perhatian Kiai Said dalam hal ini adalah meningkatnya kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Mereka, katanya, memiliki pandangan bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam. Sebaliknya, para kiai melalui Muktamar ke-27 NU di Situbondo telah menetapkan bahwa Pancasila tidaklah bertentangan dengan Islam.

“Bahkan, sila-sila yang ada dalam Pancasila merefleksikan nilai-nilai Islam. Karena itulah, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya,” ujarnya.

Menurutnya, melakukan refleksi dan imaginasi tentang Islam, Muslim, dan Indonesia menuju usia 100 tahun berarti sedang menjalankan amanah untuk menjaga Islam, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kedaulatan bangsa Indonesia.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi