Opini

Bedanya Ta’aruf dan Pacaran: Selangkah menuju Persiapan Nikah

Jumat, 12 April 2024 | 15:20 WIB

Bedanya Ta’aruf dan Pacaran: Selangkah menuju Persiapan Nikah

Ilustrasi cinta (NU Online)

Islam menganjurkan umatnya untuk mengikuti jejak Rasulullah Saw yang hidup sebagaimana halnya manusia yang lain, yaitu menikah. Banyak hikmah yang akan didapatkan oleh manusia dari menikah, salah satunya adalah dapat menjaga kesucian diri dan terhindar dari perbuatan maksiat. 


Menikah adalah bentuk ibadah seumur hidup, karena dalam proses berumah tangga kita akan dihadapkan dengan pasang surut kehidupan, juga belajar sabar dan memperbaiki diri dari cara kita mengatasi masalah perkawinan yang akan terus datang. Oleh sebab itu pilihan untuk membujang tidaklah dianjurkan dalam syariat Islam. Karena pada fitrahnya manusia itu memang memiliki naluri untuk menyalurkan hasratnya dengan jalan yang tepat. 

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ


Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah). (Q.S Adz-Dzâriyat/51:49)

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menafsirkan ayat tersebut dengan menjelaskan bahwa: “semua makhluk ciptaan Allah terdiri dari dua jenis yang berlawanan. Ada jenis lelaki dan perempuan, betina dan jantan, bulan dan matahari, darat dan laut, terang dan gelap, manis dan pahit, langit dan bumi, iman dan kafir, kematian dan kehidupan, kebaikan dan kejahatan, kesakitan dan kebahagiaan, surga dan neraka, keputusan ini juga berlaku untuk dunia hewan dan tumbuhan”. (Lihat Wahbah Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah, wa Al-Manhaj Jilid 14, Damaskus: Dar al-Fikr, 2009, hal. 45).


Jika hewan dan tumbuhan saja memiliki pasangannya, lalu apa kabarnya kita jika sudah memiliki kemampuan tapi masih betah menjomblo? Meskipun amal ibadah memang tidak melulu dari jalan menikah, tapi sungguh rugi jika sudah memiliki kemampuan, tapi masih menunda salah satu bentuk ibadah yang indah ini. Iya, tentu saja kita sebut menikah adalah bentuk ibadah yang indah. Karena Allah telah menghalalkan cara untuk menyalurkan kebutuhan manusia yang bersifat psikologis lewat jalan menikah. Begitulah kira-kira yang dijabarkan oleh Abraham Maslow (L. 1908 M) dalam teori humanistiknya bahwa kebutuhan manusia itu ada juga yang bersifat psikologis, bukan hanya semata-mata fisiologis. Teori hierarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow pada tingkatan yang ke-3 (setelah kebutuhan fisiologis seperti makanan, minuman dan rasa aman), adalah berupa kebutuhan akan kepemilikan dan cinta yaitu kebutuhan memberi dan menerima kasih sayang.


Jika dirasa sudah pantas dan mampu untuk menikah tahap selanjutnya adalah mencari atau memilih pasangan. Bagi yang belum diberi kesempatan untuk memilih maka sudah sepantasnya kita untuk minta dipilihkan kepada orang yang tepat dan tentu saja cocok (tapi terkadang dalam praktiknya banyak orang yang terlambat menikah justru karena terlalu pemilih). Salah satu caranya adalah dengan cara ta’aruf. Beberapa orang berasumsi bahwa ta’aruf merupakan istilah islami untuk pacaran yang dibolehkan dalam syariat agama Islam. Ada juga yang berpendapat dan mengkambinghitamkan istilah ta’aruf ini sah-sah saja dilakukan secara bebas tanpa batasan dan tak ada bedanya dengan pacaran berdua-duaan.


Kalaupun jika ada pacaran yang boleh dalam agama, pacaran yang dimaksudkan menurut Prof. Quraisy Shihab adalah dalam arti: “seorang teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin (dalam arti saling suka), untuk menjadi tunangan, dan kemudian istri. Pacaran yang dibenarkan adalah (yang hanya merupakan) sikap batin, bukan yang dipahami sebagian orang, terutama anak muda zaman sekarang yaitu sikap batin yang disusul dengan tingkah laku berdua-duaan, saling memegang, dan seterusnya”. Yang dimaksud dengan sikap batin menurut Quraish Shihab di sini adalah merujuk pada perasaan saling suka antara calon pasangan, tapi tetap dalam batas-batas syariat sehingga tidak melakukan maksiat. (Lihat M. Quraish Shihab, Pengantin Al Quran: 8 Nasihat Perkawinan Untuk Anak Anakku, Tangerang: Lentera Hati, 2015, hal. 81). 


Dari sini kita dapat mengasumsikan bahwa dalam praktiknya yang tidak boleh itu adalah kegiatannya yang menjurus ke arah maksiat, seperti jalan berdua, atau berinteraksi yang berlebihan selayaknya suami istri seperti salim (mencium tangan) dan yang lainnya. Karena dalam statusnya dua orang yang sedang ta’aruf itu masih belum halal atau belum sah menjadi suami istri. Oleh sebab itu tidak dibenarkan jika dengan alasan sebentar lagi akan menjadi “halal” maka dengan bebasnya melakukan aktivitas yang mendekati zina. Karena Islam sangat menjaga kesucian, bisa kita lihat di setiap bab awal ilmu fikih akan didapati bahasan tentang thaharah (bersuci). Begitupun kesucian diri, jiwa dan nasab sangat dijaga oleh Islam sehingga ada rambu-rambu yang mestinya dijaga dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan sampai waktunya dihalalkan setelah terjadi akad nikah. Semua yang diawali dengan mengikuti aturan, tentulah rumah tangganya akan dipenuhi dengan keberkahan.


Ta’aruf merupakan proses perkenalan yang dilakukan untuk mengetahui informasi sebanyak-banyaknya tentang calon pasangan. Hal ini dapat dilakukan sebagai bentuk ikhtiar penjajakan menuju perkawinan. Ringkasnya, ta`aruf dilakukan dengan mempertemukan pihak-pihak yang berkeinginan untuk menyepakati tujuan agar bisa saling mengenal lebih jauh. Saat melakukan ta’aruf, baik pria atau wanita memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan rinci tentang kebiasaan, karakteristik, penyakit, visi misi ke depannya dalam menjalani rumah tangga, bahkan hal-hal yang bersifat psikologis yang lainnya juga penting untuk ditanyakan sebagai persiapan mental untuk ke depannya jika menghadapi konflik pernikahan akan diatasi dengan cara yang bagaimana yang dirasa nyaman menurut cara pandang masing-masing. 


Karena tujuan dari ta’aruf itu adalah untuk mendapatkan kemantapan hati dalam memilih calon pasangan, maka diharapkan setelah proses ta’aruf ini di antara kedua belah pihak mendapat kesiapan mental dan spiritual yang lebih matang dalam menerapkan visi misi dalam berumah tangga ke depannya. Karena tak jarang di tengah perjalanan berumah tangga, justru bukan saja masalah finansial yang sering menjadi penyebab adanya konflik, melainkan bedanya cara pandang masing-masing pihak dalam menyikapi ujian rumah tangga. 


Hal yang perlu dipersiapkan sebelum menikah selain ta’aruf adalah memperhatikan kafa’ah (kesetaraan). Ini penting untuk dipersiapkan dan diperhatikan karena manusia pada fitrahnya akan menyukai hal-hal yang serupa dengannya. Bukan hanya setara dalam agama, cara pandang, atau status sosial masyarakat saja yang bisa mempengaruhi awet tidaknya suatu hubungan. Kesetaraan dan kesepadanan yang dimaksud bisa ditinjau dalam berbagai aspek. Di dalam Islam, sifat-sifat kesetaraan itu tak hanya tertuju pada segi fisik saja. Yang paling utama tentu dari segi kesalehan seseorang.


Syekh Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan terkait beberapa poin yang termasuk pada sifat-sifat kesetaraan, yaitu: 


Pertama, agama, kesucian, atau ketakwaan. Yang dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum agama. Orang yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan perempuan yang suci, atau perempuan yang salihah yang merupakan anak orang salih atau perempuan yang lurus, yang dia dan keluarganya memiliki jiwa agamis dan akhlak yang terpuji.


Kedua, Islam. Ini adalah syarat yang diajukan hanya oleh mazhab Hanafi bagi orang selain Arab, bertentangan dengan jumhur fuqaha. Yang dimaksudkan adalah Islam asal-usulnya, yaitu nenek moyangnya. Barangsiapa yang memiliki dua nenek moyang Muslim sebanding dengan orang yang memiliki beberapa nenek moyang Islam. Dan orang yang memiliki satu nenek moyang Islam, tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang nenek moyang Islam karena kesempurnaan nasab terdiri dari bapak dan kakek.


Ketiga, kemerdekaan. Ini adalah syarat dalam kafa’ah menurut mayoritas ulama yang terdiri dari mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali. Seorang budak walaupun hanya setengah tidak sebanding dengan perempuan merdeka, meskipun dia adalah bekas budak yang telah dimerdekakan karena dia memiliki kekurangan akibat perbudakan, yang membuat dia terlarang untuk bertindak mencari bekerja untuk orang yang selain pemiliknya. Juga karena orang yang merdeka merasa malu berbesanan dengan budak-budak, sebagaimana mereka merasa malu berbesanan dengan tidak sederajat dengan mereka dalam nasab dan kehormatan.


Keempat, nasab. Mazhab Hambali menamakannya sebagai kedudukan. Yang dimaksud dengan nasab adalah hubungan seorang manusia dengan asal-usulnya dari bapak dan kakek. Sedangkan hasab adalah sifat yang terpuji yang menjadi ciri asal usulnya, atau menjadi kebanggaan kakek moyangnya, seperti ilmu pengetahuan, keberanian, kedermawanan, dan ketakwaan. Keberadaan nasab tidak mesti diiringi dengan hasab. Akan tetapi, keberadaan hasab mesti diiringi dengan nasab. Yang dimaksud dengan nasab adalah seseorang yang diketahui siapa bapaknya, bukannya anak pungut atau mawla yang tidak memiliki nasab yang ketahuan.


Kelima, harta dan kemakmuran. Yang dimaksud adalah kemampuan untuk memberikan mahar dan nafkah untuk istri, bukan kaya dan kekayaan. Oleh sebab itu, orang yang miskin tidak sebanding dengan perempuan yang kaya.


“Keenam, pekerjaan, profesi, atau produksi. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan rezekinya dan penghidupannya, termasuk di antaranya adalah pekerjaan di pemerintah. Jumhur fuqaha selain mazhab Maliki memasukkan profesi ke dalam unsur kafa’ah, yaitu dengan menjadikan profesi suami atau keluarganya sebanding dan setaraf dengan profesi istri dan keluarganya. Oleh sebab itu, orang yang pekerjaannya rendah, seperti tukang bekam, tukang tiup api, tukang sapu, tukang sampah, penjaga, dan penggembala tidak setara dengan anak perempuan pemilik pabrik yang merupakan orang yang elite, atau pun yang tinggi seperti pedagang dan tukang pakaian. Anak perempuan pedagang dan tukang pakaian tidak sebanding dengan anak perempuan ilmuwan dan qadhi, berlandaskan tradisi yang ada. Sedangkan orang yang senantiasa melakukan kejelekan lebih rendah dari itu semua. Orang kafir sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; karena kafa’ah dijadikan kategori untuk mencegah kekurangan, dan tidak ada kekurangan yang lebih besar dari pada kekafiran. Yang dijadikan landasan untuk mengklasifikasikan pekerjaan adalah tradisi. Hal ini berbeda dengan berbedanya zaman dan tempat. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu zaman, kemudian menjadi sesuatu yang mulia di masa yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang hina di sebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang lain.”


“Ketujuh, terbebas dari cacat yang dapat menyebabkan timbulnya pilihan dalam pernikahan. Seperti gila dan lepra. Mazhab Maliki dan Syafi'i menganggapnya sebagai salah satu unsur kafa’ah. Oleh karena itu, orang laki-laki dan perempuan yang memiliki cacat tidak sebanding dengan orang yang terbebas dari cacat karena jiwa merasa enggan untuk menemani orang yang memiliki sebagian aib ini sehingga dikhawatirkan di pernikahan akan terganggu. Mazhab Hanafi dan Hambali tidak menganggap tidak adanya cacat sebagai salah satu syarat kafa’ah.” (Lihat Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu Jilid 9, Jakarta: Gema Insani, 2011, hal. 412).


Berdasarkan konteks tersebut kita dapat mengetahui bahwa kesetaraan dapat menjadi modal penting dalam menjaga kelanggengan sebuah perkawinan. Sifat-sifat kafa’ah atau kesetaraan tersebut bisa menjadi tolak ukur keseimbangan hubungan sebuah rumah tangga. Karena semakin banyak sifat-sifat kesetaraan yang sama antar pasangan suami istri, maka perkawinannya akan mudah mendekati suasana yang harmonis. Karena dengan banyaknya nilai-nilai kesamaan itu dapat menyatukan cara pandang yang sejalan dan seirama. Latar belakang keluarga yang sama, cara ibadah yang sama, status sosial dan budaya yang tidak terlalu berbeda jauh, serta mempunyai kesamaan tujuan dalam membangun masa depan rumah tangga dan mendidik anak adalah menjadi nilai tambah untuk membangun kebahagiaan di dalam kehidupan rumah tangga. 


Penulis: Ustadzah Siti Novi Nafisah, Pimpinan Pondok Pesantren Pusat Pengkajian Islam AL-HALIM Bojongherang - Cianjur