Opini

Ketika Nusantara Jadi Tujuan Penjelajahan Saudagar

Rabu, 19 Januari 2022 | 08:45 WIB

Ketika Nusantara Jadi Tujuan Penjelajahan Saudagar

Ilustrasi: perdagangan dan perniagaan di Nusantara. (Foto: Kemdikbud RI)

Kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di Nusantara, baik pendatang dari India, Tiongkok, Portugis, Arab, dan Belanda. Setiap keyakinan dan agama yang hadir di Nusantara disambut secara terbuka, termasuk ketika para saudagar dari berbagai bangsa menjelajahi dan singgah di Nusantara untuk mencari rempah-rempah sehingga muncul jalur rempah.


Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, orang-orang Tionghoa dan India sudah lebih dahulu mengetahui rute menuju pusat rempah-rempah. Namun, sejak sebelum abad ke-5 M, sebagaimana disinggung dalam kronik sejarah Tiongkok dan India, para pedagang dari Nusantara telah menguasai niaga komoditas berbau harum, yakni cengkeh dan pala. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai penguasa di kawasan barat hingga tengah Nusantara sejak abad ke-8 hingga abad ke-10. Kerajaan ini mengontrol seluruh lintas laut bangsa Barat dan Tiongkok menuju rute kepulauan rempah-rempah dan Selat Malaka.


Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad ke-5 Masehi dengan Kasta Brahmana yang memuja Dewa Siva. Kaum pedagang (saudagar) juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikutnya. Sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Syailendra.


Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah telah dibangun oleh Kerajaan Syailendra. Pada waktu yang bersamaan dibangun pula candi Hindu, Prambanan di Yogyakarta. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 masehi yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.


Sejurus dengan zaman keemasan Majapahit, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 masehi. Salah satu teori menyebut, berawal dari Gujarat-India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera kemudian berkembang ke timur pulau Jawa.


Teori Gujarat dicetuskan oleh G.W.J. Drewes dan dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, hingga J.P. Moquette ini meyakini bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dari Gujarat, India, pada abad ke-13 Masehi.


Salah satu bukti yang mendukung teori ini adalah ditemukannya makam Malik As-Saleh dengan angka 1297. Nama asli Malik As-Saleh sebelum masuk Islam adalah Marah Silu. Ia merupakan pendiri Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.


Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara (2009) menjelaskan, corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh memiliki kemiripan dengan corak batu nisan di Gujarat. Selain itu, hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin. Ditemukan pula batu nisan lain di pesisir utara Sumatera bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Makam ini memiliki batu nisan serupa dari Cambay, Gujarat, dan menjadi nisan pula untuk makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, dikenal sebagai Sunan Gresik, yang wafat tahun 1419.


Pada periode tersebut terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram, dan Banten. Pada akhir abad ke-15 masehi, sebanyak 20 kerajaan Islam telah dibentuk.


Setidaknya ada lima versi terkait teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para pembawanya dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, serta teori Gujarat (India) dan teori Persia (Iran), hingga teori Maritim.


Dari teori-teori tersebut, teori Maritim merupakan satu-satunya teori yang menjelaskan bahwa Islam disebarkan oleh orang-orang Nusantara sendiri melalui aktivitas pelayaran. Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur perniagaan yang disinggahi. Ini terjadi pada sekitar abad ke-7 M dan dimulai dari pesisir Aceh, seterusnya hingga tersebar luas.


Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang lokal sendiri yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka berlayar ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah menganut Islam, berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air dengan membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.


Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa.


Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.


Teori lain tentang masuknya Islam di Indonesia ialah berasal dari Tiongkok. Dalam hal ini, Sejarawan Agus Sunyoto (2015) menjelaskan, jika menelusuri proses islamisasi di Nusantara, maka akan ditemukan satu fakta bahwa pada rentang waktu 800 tahun, Islam belum bisa diterima pribumi secara massal. Islam hanya dipeluk oleh orang-orang non-pribumi. 


Agus Sunyoto berpijak pada catatan utusan Dinasti Tang di Kerajaan Kalingga pada 674 masehi bahwa sudah ada saudagar dari Timur Tengah yang datang ke Jawa. Setelah itu, tidak pernah ada satu sumber pun yang menyatakan bahwa Islam diterima pribumi secara massal sampai tahun 1292 sebelum ada Kerajaan Majapahit.


Agus Sunyoto juga mengungkapkan bahwa Marcopolo ketika pulang dari Tiongkok lewat laut, singgah di Pelabuhan Perlak, Aceh. Marcopolo mencatat penduduk di kota itu, persisnya di sekitar Selat Malaka, Aceh Timur, dihuni oleh sebagian etnis Tionghoa. Semuanya beragama Islam.


Tepatnya, seratus tahun kemudian, Cheng Ho datang ke Nusantara saat perpindahan dari Dinasti Yuan ke Dinasti Ming. Pada tahun 1405, Cheng Ho mencatat Raja Mahapahit saat itu, Wikramawardhana. Dia singgah di pelabuhan Tuban, yaitu pelabuhan besar milik Majapahit. Di situ dia menemukan etnis Tionghoa tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka semuanya Muslim.


Cheng Ho kemudian singgah di pelabuhan Gresik. Ternyata di Gresik ada 1.000 keluarga Tionghoa yang semuanya Muslim. Kemudian, di Surabaya juga ada seribuan keluarga Tionghoa beragama Islam.


Itu terjadi pada 1405 ketika Cheng Ho pertama kali datang ke Nusantara. Cheng Ho sendiri bolak-balik ke Jawa hingga tujuh kali. Kunjungan terakhirnya pada 1433. Saat itu, Cheng Ho mengajak juru tulis (sekretaris) bernama Ma Huan. Dalam catatan Ma Huan, di kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa dihuni tiga kelompok masyarakat.


Pertama, etnis Tionghoa semua beragama Islam. Kedua, dari Barat, yaitu Arab dan Persia yang juga beragama Islam. Ketiga, pribumi. Masih menurut catatan Ma Huan, semua penduduk pribumi di sepanjang pantai utara Jawa masih belum mengenal agama Islam kala itu.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online dan pengajar sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)