Warta Diskusi NU Online

Ada Sistem Ijon dalam Dunia Medis

Sabtu, 24 Februari 2007 | 23:52 WIB

Kesehatan berada di persimpangan jalan, antara keberadaannya sebagai bagian dari hakikat kemanusiaan atau kesehatan yang telah diintegrasikan dengan kepentingan pasar. Sering terdengar istilah industrial medical complex. Jika di dunia modern para kapitalis bisa memanfaatkan apa saja untuk kepentingan bisnis, maka para pesakitan lebih bisa dimanfaatkan untuk itu.

Dokter Paulus Januar yang pernah aktif menjadi aktivis Forum Demokrasi (Fordem) bersama Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal tahun 1990-an mengungkapkan keprihatinannya. Dalam sesi diskusi NU Online, Rabu (21/2) lalu, dinyatakan bahwa faktor utama sehingga dunia medis dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis adalah sebab adanya hubungan asimetris antara dokter dengan pasien.

<>

”Kalau dokter menulis resep kita terima begitu saja kan? Berbeda dengan ketika kita beli barang di supermarket. Ini yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan obat,” katanya.

Yang terjadi, perusahan obat kemudian memberikan insentif-insentif kepada para dokter dalam bentuk komisi. Dalam fasal khusus di kitab-kitab kuning yang menjelaskan mengenai jual beli ada istilah sistem ijon yang dilarang dalam Islam yakni membeli buah muda yang masih berada di pohon dan akan diambil setelah buah itu matang atau siap dikonsumsi. Nah dalam dunia medis ternyata sistem ijon juga ada.

Ijon dalam pengertian Dokter Paulus semisal, perusahaan obat memberikan kredit mobil kepada para dokter kemudian para dokter membayar angsuran bulanan melalui komisi yang mereka peroleh ketika menulis resep obat dari perusahaan tertentu. Biasanya komisi bekisar antara 10 sampai 15 persen.

"Nah komisi itu yang diperhitungkan untuk membayar kredit mobil. Jadi orang sakit itu sudah diijon, artinya sebelum sakit sudah diperhitungkan,” katanya.

Akibatnya para dokter terpacu untuk mengejar omset yang telah ditentukan oleh perusahaan yang memberi insentif. Jika sampai pada waktu tertentu komisi yang mereka peroleh belum mencapai target maka para dokter harus menambah resep tertentu sesuai dengan angsuran yang telah disepakati. Maka hal berikutnya yang lebih berhahaya adalah terjadinya pengobatan yang tidak rasional. Para pesien yang sebetulnya tidak perlu obat tertentu akhirnya diharuskan untuk membeli obat itu. Cara yang kedua bisa ditempuh dokter untuk mencapai target adalah dengan meninggikan dosis obat. Ini berbahaya.

Soal obat itu sendiri dikenal istilah obat generik yakni yang mereknya memakai rumus kimia dan dan non generik yang memakai merek perusahaan. Yang generik semisal bermerek asam afenamat, sementara yang non generik bermerek perusahaan seperti Ponstan. Keduanya berfungsi menghilangkan rasa sakit. Anehnya harga kedua model obat ini terpaut sangat jauh. Harga asam afenamat misalnya hanya mencapai Rp. 300 sampai 400-an tetapi ketika sudah ada merek Ponstan harganya bisa mencapai Rp. 3000,- Luar biasa untungnya.

Di lain pihak obat tradisional Indonesia yang terbukti manjur dan mujarap sulit masih ke lingkaran farma cob atau obat resmi dunia sehingga semua dokter bisa meresepkannya. Ada peraturan yang sangat ketat. Jamu Jago dan Air Mancur saja yang notabene perusahaan besar sulit masuk, apalagi yang biasa.

”Hegemoni dunia barat terhadap obat itu akan tetap berlangsung. Jangan kira obat tradisional kita yang manjur akan diterima,” kata Dokter Paulus.

Namun hegemoni tetap berlangsung dengan cara yang lain. Cukup banyak universitas dari Amerika yang menginventarisasi beberapa jenis obat tradisional lalu dibawa ke negara mereka. Misalnya di Dayak, ada beberapa daun yang mujarab mengatasi berbagai penyakit diambil sampelnya oleh dan dibawa ke Amerika untuk diteliti.

Karena mereka punya cukup biaya sampel daun itu teliti lalu mereka keluarkan sebagai temuan mereka yang berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit ini dan itu dan mereka patenkan lalu dijual dan melalui resep dokter kita diharuskan beli obat punya kita sendiri itu dengan harga mahal. (A Khoirul Anam)