Warta MENUJU PENYATUAN AWAL BULAN HIJRIYAH (2)

Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku

Sabtu, 8 Desember 2007 | 03:15 WIB

Yogyakarta, NU Online
Bagi NU, hisab hanyalah hasil rumusan yang diperoleh setelah diadakan rukyatul hilal bil fi’li atau observasi lapangan. Hisab dalam perkembangan berikutnya berfungsi memandu atau membantu proses pelaksanaan rukyat. Namun hisab tidak bisa menjadi penentu. Awal bulan harus ditentukan dengan observasi lapangan, dan ini persis sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Muhamad SAW.

Sementara itu Muhammadiyah berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad yang memerintahkan untuk mengadakan rukyatul hilal adalah dalam konteks masyarakat yang ummi alias tidak bisa membaca dan menulis. Aturan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Muhammad itu, saat ini, dianggap sudah tidak berlaku.

<>

Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (6/12), menegaskan kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus lajnah falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan.

Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriyah dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak bepengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriyah.

Bukankah ada metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan? Nah persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi untuk membuktikan dan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan. “Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi,” kata Kiai Ghazalie.

Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir mengenai alam, matahari, bulan dan jutaan bintang, yang pastinya kan menambah keimanan kepada Sang Khaliq.

Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah.

Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan berarti Nabi Muhammad dan para sahabatnya sama sekali tidak mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa awal bulan Hijriyah ditentukan oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu.

Ada pertanyaan pelik dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya hisab saja, maka bagaimana dengan hadits Nabi Muhammad yang jumlahnya lebih dari duapuluh hadits yang memerintahkan untuk itu? Apa dibuang begitu saja?

Dalam hadits ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, Syawal dan Dzul Hijjah, apalagi kini dibantu dengan alat teropong.

Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU lainnya, DR Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu ilmu astronomi akan mandeg, dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri dan diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim.

Kalangan Muhammadiyah membantah bahwa kalangan ahli falakiyah Muhammadiyah juga terus melakukan observasi itu. Namun lagi-lagi, bagi Muhamadiyah, observasi itu bukan untuk keperluan penentuan awal bulan Hijriyah. (A Khoirul Anam)