Warta PP 37/2006

Cara Dapatkan Utang APBD Tanpa Bunga

Jumat, 2 Maret 2007 | 09:15 WIB

Jakarta, NU Online
Sejumlah Lembaga Swadaya Nasional (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2006 mendesak Presiden Susilo Bambang Yuhoyono untuk segera mencabut PP 37/2006. Mereka menilai, PP tersebut merupakan cara untuk mendapatkan utang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa bunga.

“Revisi PP 37/2006 memerintahkan DPRD menggunakan APBD untuk kepentingan pribadi dalam bentuk pinjaman APBD tanpa bunga. Lambatnya batas waktu pengembalian uang tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional yang telah diterima DPRD, sampai akhir masa jabatan tahun 2009, merupakan bentuk korupsi,” kata juru bicara koalisi LSM tersebut, M Agus Susilo, dalam siaran pers yang diterima NU Online di Jakarta, Jumat (2/3) kemarin.

<>

Tuntutan yang merupakan penegasan kembali atas sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu dibuat karena PP tersebut dinilai jelas tidak memberikan pemihakan sama sekali pada rakyat miskin dan daerah miskin. Mereka menilai, Presiden telah melakukan kecerobohan untuk kesekian kalinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.

“Secara hukum, PP tersebut jelas melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya, UU 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang memberikan penegasan bahwa anggaran harus berbasiskan kinerja. Oleh karena itu, hanya satu solusi, cabut PP 37/2006, bukan revisi,” tegas Agus yang juga aktivis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU.

Koalisi juga menilai Presiden tidak tegas dalam membuat kebijakan. Keputusan pengembalian tunjangan komunikasi intensif (TKI) dan dana operasional (DO) hingga akhir tahun 2009 adalah buktinya. Padahal sebelumnya, melului juru bicara kepresidenan, Presiden menyatakan, pengembalian TKI dan DO paling lambat Desember 2007.

“Presiden seolah-olah lebih takut kehilangan legitimasi dan popularitasnya dari asosiasi-asosiasi DPRD ketimbang rakyat sebagai pemberi mandat utama,” ujar Agus.

Menurut Agus, pemberian TKI dan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan (BPOP) berdasarkan kemampuan keuangan daerah, tidak relevan. Besarnya kemampuan keuangan daerah, imbuhnya, tidak berhubungan dengan besar kecilnya biaya komunikasi DPRD dengan konstituen maupun operasional yang diperlukan pimpinan DPRD.

Kebijakan tersebut dinilai akan berakibat DPRD akan berlomba-lomba membuat berbagai peraturan daerah untuk mendongkrak pendapatan asli daerahnya agar TKI dan BPOP yang mereka terima bisa lebih besar. “Terbukti perda-perda peningkatan PAD itu malah menghambat masuknya investasi ke daerah karena dibebani berbagai pungutan,” pungkasnya. (rif)